Sabtu, 01 Januari 2011

Terompet-Terompet Kejujuran


Refleksi dan Harapan Untukmu Indonesia

BECAK tua yang mulai usang itu pun Zaenal tinggalkan di samping rumahnya. Ia bergegas memanggul barang dagangan penuh terompet di pundaknya. Ada berbagai macam warna dan ragam, merah, biru, kuning, hijau, besar, kecil, sedang, semuanya terpajang indah dalam satu kesatuan warna.

Segera ia ambil sandal jepit lusuh berwarna putih kecoklatan itu dari kolong meja. Ia letakkan di depan pintu, bak siap mengantarkan langkah menjajakan barang dagangannya.

Sore itu, Zaenal siap menjajakan terompet-terompet tahun baru di sekitar alun-alun kota. Berharap mendapatkan sekoin rejeki untuk member nafkah istri dan tiga anaknya. Bukan ia saja yang mencari peruntungan di alun-alun kota. Puluhan pedangan keliling lainnya bersiap mengais sesuap nasi dari kemeriahan tahun baru.

Setiap harinya Zaenal memang tak bekerja menjajakan terompet indahnya. Hampir dua puluh tahun sudah ia mengayuh becak untuk menyambung nyawa keluarga. Dan momen tahun baru inilah saat ia beralih profesi sebagai penjual terompet. Ia relakan malam birunya untuk menjual terompet dan kacang kulit. Sengaja ia sisakan waktu istirahat untuk membuat dan mengolah kertas warna menjadi berbagai macam bentuk terompet. Ada yang berbentuk naga, seruling, alat musik tiup, dan lain-lain. Semuanya ia jajakan sesuai daya kreativitas dan imajinasinya.



Ia tak sendirian. Aryo, anak sulungnya selalu menemaninya membuat terompet-terompet indah itu. Sementara kedua anak lain masih tampak kecil untuk mau ikut menjajakan jerih payah keringatnya. Seakan tak mau kalah, sang istri pun mencoba tegar untuk mau belajar menjajakan kacang godhog. Keluarga ini memang bukan keluarga miskin biasa. Walaupun mereka hidup serba tak berkecukupan, tetapi tak ada secuil pun niat mereka untuk menjadi peminta-minta. Mereka lebih suka untuk memeras keringatnya demi menyambung hidup dan nafasnya.
***

Suasana di alun-alun tampak begitu ramai. Malam tahun baru ini memang memberikan suasana kota menjadi lebih berbeda. Lampu warna-warni terhias di sepanjang sudut taman dengan berbalut dengan keindahan air mancur yang seakan terlihat menari indah.

Dan Zaenal tampak asyik menikmati suasana sore itu bergerombol dengan para pedagang kaki lima lainnya. Ia tampak berjejal berbagi rejeki di antara para pedangan makanan dan koran. Matanya tampak sibuk melihat satu per satu keindahan yang tersaji di alun-alun itu.

“Ahhh… sepi, Nal. Roti daganganku belum laku,” keluh Mahmud kepada Zaenal.

“Sabar… Kang. Nanti malam mungkin puncaknya.”

“Sabar gimana? Sudah setengah hari aku di sini. Ga satu pun yang kudapatkan.”

Zaenal hanya tersenyum melihat celoteh temannya itu. Ia amati raut muka kesal yang tergambar lekat di muka sang penjual roti ini. Tercampur dengan keringat yang menetes melewati sela-sela kerut dahinya.

“Beeh… Bener itu, Nal,” lanjut Mahmud memelas.

“Iyo… Nal, Kalo bukan karena anak istri awak. Ga bakalan awak pulang sesore ini,” tambah Nurdin.

“Eh… Kau, Din. Belum pulang jam segini?” tanya Zaenal.

“Belum… Nal. Awak masih mau ngejar setoran. Kurang banyak iki.”

“Santai jugalah, Din. Ga perlu kau ngotot dan ngeyel,” sahut Zaenal menambahkan.



Nurdin mulai diam tak membalas. Ia ambil handuk dari sela-sela koran dagangannya. Ia usap keringat yang mulai mengucur deras di dahi dan pipinya. Ia seka dengan sangat pelan hingga seluruh mukanya. Ia hela nafasnya yang mulai terasa susah karena rasa capek dan lelah.

“Hmmm… kita ini orang susah. Kenapa Allah masih menambah kita jadi tambah susah,” lanjut Nurdin menambahkan.

“Hush… Ngomong apa kau, Din… Istighfar… nyebut… nyebut…,” seru Mahmud cepat.

“Lha memang awak rasa gitu kok. Harusnya tuh orang-orang yang di atas yang suka korupsi itu yang hidup susah. Bukannya orang kere macam kita,” tambah Nurdin ga mau kalah.

“Santai… santai Din. Kau tak tahu kan. Orang-orang yang suka korupsi itu juga susah. Mereka susah lari dari dosa-dosa mereka,” sahut Zaenal melerai.

Jawaban Zaenal membuat Nurdin dan Mahmud tertawa mendengarnya. Mereka tampak asyik dengan sendau gurau masing-masing.

Zaenal kembali asyik memandangi jalan di alun-alun yang mulai ramai terkondisikan oleh suasana menjelang Maghrib. Banyak muda-mudi yang mendatangi daerah di sekitar taman kota itu. 

“Tengoklah itu, Kang. Bukannya ke masjid, malah datang ke alun-alun macam ni. Mau jadi apa mereka anak muda jaman sekarang?” seru Nurdin.

“Sudahlah… Mungkin ini akan jadi rejeki kita juga, Din,” sambut Mahmud bersemangat.
***

Seorang gadis muda nampak datang ke arah tempat Zaenal dan lainnya berjualan. Dandanannya modis. Kakinya berbalut celana jeans trendy, ditambah dengan tas kecil yang ditenteng di tangan kanannya. Gadis itu tampak seperti gadis modern yang tak lupa selalu mengikuti tren busana masa kini.

Gadis itu mulai berjalan ke arah tempat Nurdin berjualan koran dan majalah. Segera matanya hilir mudik mengamati satu per satu majalah anak muda yang ada. Melirik dari satu baris ke baris yang lain. Namun, tak satu pun maksud yang ia inginkan.

“Bang, majalah fashion nggak ada ya?” tanya gadis muda itu.

Mata Nurdin segera mencari dari satu sudut ke sudut lainnya. Meneliti tiap deret mencari majalah fashion yang diinginkan oleh sang gadis muda itu. Dan seketika matanya terbelalak ketika mendapatkan majalah yang di maksud.

“Ini, Neng, majalahnya,” sambut Nurdin sambil menyodorkan majalah yang dimaksud.

Majalah itu segera disambut dengan tangan kanan sang gadis. Ia mengambil dan membuka-buka halaman demi halaman. Seakan meneliti tiap lembar yang ada. Mencari-cari jika ada sesuatu yang ia anggap cacat.

“Nggak ada yang lain, Bang?” tanya sang gadis sewot.

“Ini yang paling baru, Neng. Baru seminggu lalu datangnya. Cuma Rp15 ribu kok,” jawab Nurdin kalem.

Si gadis hanya terdiam tak membalas perkataan Nurdin. Seakan wajah cantiknya tertutup oleh muka sewot dan judesnya. Terasa nampak kontras dengan warna kaos merah yang ia kenakan. Dan seketika ia merogoh tas yang ia tenteng. Seakan ingin mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Ia mengambil satu dompet besar yang terlihat tebal. Tampak isinya yang lumayan menggiurkan. Masih ditambah dengan kartu kredit berjejer dangan kartu lainnya. Mahmud dan Zaenal hanya bisa menelan ludahnya melihat pandangan uang di dompet sang gadis.



Tangan sang gadis yang putih segera merogoh kantong dompetnya dan mengambil selembar uang Rp20 ribu. Gelang emas bergelantungan menghiasai pergelangan tangannya membuat suara gemerincing yang terdengar nyaring.

“Ya sudahlah. Ini uangnya,” sahut sang gadis dengan nada kerasnya.

Gadis itu kembali memasukkan dompet ke dalam tas modisnya. Namun, tanpa sadar, dompet itu jatuh ke tanah di samping kakinya. Zaenal yang melihat peristiwa itu seakan menjadi diam tak berkutik. Muncul suatu kontradiksi dalam pikirannya antara memberitahukan ke gadis itu atau memilih untuk diam saja. 

Sang gadis belum juga menyadari akan keteledorannya. Ia masih terlihat sewot. Seketika setelah mendapati uang kembalian dari Nurdin ia bergegas meninggalkan tempat itu, menuju taman kota.
***

“Kenapa kau kembalikan dompet gadis itu?” tanya Nurdin.

“Iya, Nal. Kan lumayan bisa buat nambah setoran kita. Lagian gadis itu kan nggak tau kalo dompetnya jatuh,” tambah Mahmud.

“Sudahlah. Memang itu bukan hak kita.”

“Ah… Kau Nal,” keluh Nurdin.

“Sudah…sudah… Apa bedanya kita sama koruptor itu? Kalo kita cuma bisa ngomongin mereka tapi kelakuan kita tak jauh sama buruknya dengan mereka. Indonesia perlu orang-orang jujur seperti kita,” sahut Zaenal menjelaskan.

“Bener juga kau, Nal. Lagian awak juga tak mau dikejar-kejar dosa macam koruptor itu. Ngeriii…” sambut Nurdin.

Zaenal dan Mahmud dibuat tertawa dengan kelakar Nurdin. Mereka pun akhirnya berberes sejenak meninggalkan hiruk pikuk dunia menuju tempat adzan berkumandang.
***

Inilah sepenggal kisah kerinduan Indonesia akan orang-orang jujur seperti Zaenal. Orang-orang yang berani berbuat jujur walaupun terjepit kondisi dan keadaan sekalipun. Indonesia butuh terompet-terompet kejujuran yang berani menyuarakan kebenarannya.

Mari kita refleksikan momentum tahun baru ini sebagai langkah awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Setidaknya untuk mewujudkan sosok yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih bermartabat.

0 komentar:

Posting Komentar