Kamis, 18 November 2010

«Almost Soulmate»

Dedicated to Anggit Prasetyo (01 Desember 1989 – 03 November 2010)

Suara ribut dan gaduh membahana dalam kelas XII IPA 1 yang berukuran sedang ini. Hawa panas yang terasa semakin penat membuat aliran keringat mengalir dengan begitu derasnya. Air conditioner yang sedari tadi telah menyala dengan penuh tak membuat suasana praktikum jam terakhir itu terasa adem. Sesekali perut yang berbunyi keroncongan ini membuat pikiran dan konsentrasiku semakin membuyar.
Rabu siang ini, jam terakhir diisi dengan praktikum Kimia. Walaupun mata pelajaran ini terasa menarik. Namun, keadaan dan kondisi keletihanku telah membuat kepenatanku semakin menjadi. Beberapa siswa tampak asyik mencampur beberapa macam larutan kimia dan mengamati hasil peragaannya sesuai modul. Dan aku hanya bisa beberapa kali menahan kantuk di meja belakang. Sesekali kututupi mulutku untuk menahan hawa kantuknya.
Suasana semakin terasa semakin penat. Karena aku harus sekelompok dengan Pras. Seorang cowok yang kurasakan sebagai sosok yang egois dan mau menang sendiri. Bagiku sikapnya yang suka menjaili teman-teman lain membuat diriku harus bersikap sedikit lebih waspada. Tak jarang bahkan aku telah menjadi bahan kejailannya. Dan baginya ini menjadi sebuah bahan lucu untuk bisa membuatku tertawa.
+++
Masih teringat jelas kejadian seminggu yang lalu. Kejadian yang sempat membuatku lebih merasa tak suka dengan sikapnya. Kejadian yang menyangkut sifat jail Pras kepadaku.
Pagi itu jam 11.00 merupakan mata pelajaran Kewarganegaraan. Banyak siswa masih terasa lelah karena mata pelajaran sebelumnya diisi dengan kegiatan olahraga. Banyak siswa yang masih merasa capek dan istirahat di kelas untuk menunggu pergantian jam pelajaran. Namun aku masih sibuk mencari baju dan rok seragam gantiku.
“Kamu nyari apaan, Putri?”, tanya Tari kepadaku.
“Ini… seragam gantiku tiba-tiba menghilang..”
“Lha tadi kamu taruh mana?”
“Tadi di sini. Pasti ada yang iseng ngumpetin seragamku.”, sahutku sambil melirik kea rah anak laki-laki yang tampak asyik mengobrol di luar.
“Maksud kamu siapa? Pras?”,
“Iya pastinya… siapa lagi kalau bukan dia.”
Segera kulangkahkan kakiku keluar ruangan berdiap untuk meluapkan kemarahan dan kekesalanku kepada anak lelaki itu.
“Pras… sini…”, teriakku
“Ada apa…. Eh, ngapain kamu belum ganti. Pak prapto dah mau masuk nie. Buruan donk…”, jawab Pras spontan dengan senyum simpulnya.
“Malah nanya lagi. Kamu kan yang ngumpetin seragamku. Buruan… dimana…?”
“Weh siapa yang ngumpetin. Kamu lupa naroh kali…”
Terjadilah perdebatan panjang disitu. Perdebatan yang membuat suasana semakin terasa panas. Aku dengan berbagai macam dugaanku telah memojokkan Pras sebagai pelakunya. Sementara itu Pras tetap bersikukuh tak mau mengakui tuduhanku.
Semua terus berlanjut hingga jam Kewarganegaraan pun mulai. Dan menjadi sebuah hal yang mengejutkan karena baju seragamku berada di laci meja guru. Pak Prapto menjadi tersenyum karena tahu seragam itu kepunyaanku. Aku hanya bisa menutupi muka Maluku sembari merasa melihat senyum puas Pras karena kejailannya.
+++



Kejadian itulah yang semakin membuat hubungan pertemananku dengan Pras mulai menjauh. Memang Pras telah berkali-kali meminta maaf kepadaku. Namun, aku merasa masih menyimpan perasaan tidak suka kepadanya. Walaupun dalam hati telah kucoba untuk memaafkan sikap dan kejailannya. Namun, jika harus mengingat peristiwa itu, terasa semakin muak aku untuk melihat tingkah dan sikapnya.
Praktikum Kimia di siang ini membuatku harus tetap berhadapan dengan sosok menjengkelkan ini. Bu Nur, guru Kimiaku telah membuat aku dan Pras menjadi satu tim praktikan. Dan selama praktikum itu, aku masih merasa asing dan tak banyak bercakap dengan sosok yang satu ini. Sesekali Pras mulai mengajakku ngobrol tetapi kucoba untuk mengalihkan ke persoalan lain. Aku masih belum bisa memaafkannya dengan sepenuh hati.
“Kamu masih marah padaku ya.. Put.”, tanya Pras kepadaku.
Aku diam tak menjawab pertanyaan Pras. Kucoba mengalihkan pandanganku ke arah dua gelas ukur yang ada di depan mejaku. Berisi penuh dengan dua larutan bening berwarna merah dan putih.
Tiba-tiba tangan Pras mencoba meraih tanganku. Ia mencoba meminta maaf dengan mengajakku bersalaman. Dan, secara spontan pikiranku terkejut dibuatnya. Seketika tanganku kuhempaskan menghindar dari raihan tangan Pras.
Tanpa sadar tanganku menyenggol gelas ukur yang berisi larutan kimia itu. Dan secara spontan menggelinding lurus jatuh menjadi beberapa kepingan kaca pecah. Hatiku semakin terasa kecut dibuatnya. Mataku hanya bisa melihat gelas ukur itu tak bersisa sedikit pun. Hanya menyisakan kepingan-kepingan kaca.
“Ada apa ini…? Kenapa…? Kenapa…?”, sapa Bu Nur.
Suasana kelas terasa hening sejenak. Suara Bu Nur yang menggelegar keras membuat semua kegiatan praktikum sedikit terhenti. Hatiku menjadi terasa bingug dan bimbang dibuatnya. Memikirkan kejadian yang menimpa tepat di depan mataku.
Aku masih terdiam membisu tak menjawab pertanyaan Bu Nur. Hatiku merasa kecil untuk berani mengungkapkan kesalahan dan kelemahanku. Maih terlihat keras dan tegasnya Bu Nur dalam membimbing setiap siswa. Dan nyaliku terasa semakin kecil untuk mampu mengakui keteledoranku.
Tanpa diduga Pras mengeluarkan argument kecil dari mulutnya. Sebuah jawaban yang sempat membuat pikiran dan otakku tak menyangka akan pengakuan dan pernyataanya.
“Maaf Bu. Tadi tanganku nyenggol gelas ukur ini dan jatuh ke lantai.”, sahut Pras sembari mendiskripsikan kejadiannya.
“Makannya hati-hati. Kalau praktikum itu jangan cuma bercanda.”
“Iya… Bu… maaf. Untuk biayanya akan saya ganti.”, lanjut Pras menambahkan.
“Bukan masalah ganti rugi. Ini masalah ketelitian kalian dalam melaksanakan praktikum….”
Siang itu pun praktikum terpaksa dihentikan karena ulahku. Gelas ukur yang pecah itu telah menjadikan sebuah peristiwa kecil penutup jam pelajaran di hari Rabu siang ini. Aku bagaikan seseorang penakut yang tak berani mengakui kesalahanku. Dan tanpa kuduga Pras telah membantuku mengatasi masalah kecil ini.
+++
Kamis pagi, suasana kelas terasa sangat ramai. Tidak seperti biasanya, pagi itu udara pagi yang sejuk harus terributkan oleh sesuatu hal yang penting. Banyak siswa yang berlalu lalang di depan pintu kelas sembari mengeluarkan air matanya.
“Ada apa, Nik?”, tanyaku penasaran.
Monik hanya terdiam membisu. Sesekali ia menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya. Pemandangan itu membuatku terasa semakin tak mementu. Pikiranku penuh dengan tanda tanya besar akan kejadian yang membuatku bingung.
“Kamu udah tahu belum, Put?”, sahut Monik dengan lirih.
“Tahu apa?”, tanyaku penasaran.
“Kabar tentang Pras.”
“Ada apa dengan Pras?”
“Dia… dia…”
Ucapan Monik terhenti sejenak. Dia menghela nafas panjangnya. Terdengar sangat berat di sela-sela isak tangisnya.
“Iya…iya… Kenapa Pras?”
“Dia kecelakaan tadi malam dan kini nyawanya tak tertolong.”
“Maksud kamu?”
“Iya… Pras meninggal dunia.”
“Innalillahi wa inna ilahi ra’jiun…”
Pikiranku beratambah semakin kalut. Aku tak kuasa menahan rasa tangis yang membuyar di pikiranku. Aku hanya bisa menyesal belum bisa mengucapkan terima kasih karena kebaikan yang telah ia berikan kepadaku. Sebuah ucapan terindah yang menjadi tanda kasih seorang sahabat.

Rabu, 17 November 2010

met idul adha 1431 H

Sabtu, 13 November 2010

«Senandung Senyum Untukmu Merapi»

"masih ada setitik asa buat kita kembali tersenyum" dedicated to Merapi victims

Sore itu udara tak sesegar biasanya, hawa panas yang terasa pekat akhir-akhir ini memang semakin menjadi. Mungkin saja, semua terjadi karena kondisi Gunung Merapi yang mulai aktif menebar ancamannya. Dan bisa jadi kapanpun, merapi kan kembali mengeluarkan larva pijarnya. Menghembuskan awan panas dan memporak-porandakan seluruh kehidupan yang ada disekitar lerengnya.
            Aku masih tampak duduk diam tak berdaya di tengah kerumunan para pengungsi merapi lain. Sudah seminggu lamanya, aku menjadi saksi musibah merapi yang masih belum berhenti dari status awasnya. Awan panas masih tak henti membawa korban baru, lava dingin juga siap memberi ancaman bagi penduduk di sekitar aliran sungai, dan masih ditambah lagi hujan abu yang siap mengganggu pandangan dan pernafasan.
            Pikiran dan perasaanku semakin bertambah penat. Masih belum bisa ku lupakan saat mencekam yang telah ku lalui tadi malam. Saat-saat terakhir yang telah menghilangkan jejak seluruh keluarga kecilku. Bapak, Ibu dan dua adikku telah menghilang di terjang awan panas. Entah bagaimana nasib mereka, belum terdengar hingga saat ini. Dan aku menjadi salah satu diantara mereka yang masih selamat. Menyisakan cerita pilu yang tak kan mudah untuk kuhapus dari memori otakku.
            Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan bencana yang ku alami ini. Namun, kini semuanya telah kembali membekas luka dalam jiwaku. Meninggalkan goresan tajam dalam ingatan. Dan aku telah menjadi saksi hidup dari semua peristiwa yang ku alami ini.
+++
            Hujan abu tak hentinya surut menemaniku sendiri terpaku di tengah-tengah para pengungsi lain. Masih tampak kecil berguguran semakin mempertebal permukaan jalan yang basah oleh hujan semalam. Menjadi kian memutih oleh campuran abu baru yang berterbangan tak beraturan.
            Para pengungsi tampak sibuk antri mengambil bahan logistik berupa pakaian. Mereka asyik berjejal dan memilah kebutuhan sandang yang mereka perlukan sehari-hari. Sementara itu, para relawan silih berganti lalu lalang membawakan kebutuhan makan ke masing-masing tenda pengungsian.
            Semua pemandangan itu tak menyurutkanku untuk beranjak dari bilik pengungsianku. Aku hanya asyik mengamati cerita-cerita yang silih berganti dari pandanganku ini. Hanya bagaikan seorang penonton setia pertunjukan yang tak sedikitpun memberi komentar pada apa yang ia saksikan.
            Sudah hampir dua hari tubuhku tak terguyur  oleh air mandi. Hanya kubilas saja saat mengambil air wudhu untuk sholat. Baju lusuh sedari kemarin lusa juga masih tetap setia kukenakan melekat di tubuh mungilku. Menutupi perut kosongku yang entah belum terisi sesuap nasipun dari semalam.
            “Min… Makan dulu tuh nasinya. Nanti keburu basi…”, bujuk Edy tetangga pengungsianku.
            “Iyo… Iyo… Nanti kalo laper kan tak makan tho…”, jawabku dengan nada agak sewot.
            “Kalo nggak. Makan roti wae. Ntar daripada kamu sakit. Malah jadi susah.”
            Aku hanya terdiam tak menjawab tawaran Edy. Kepalaku kuteduhkan di antara dua lipatan pahaku. Kucoba untuk menarik nafas panjang dari sela-selanya. Ku pandangi baju oranyeku yang mulai tampak kumal. Bahkan tulisan “SAR DIY” itu pun mulai  tampak kotor tertutupi debu yang melekat.
            Terdengar beberapa orang berbaju sama denganku tampak sibuk ngobrol di depan pandanganku. Mulut mereka tampak sibuk komat-kamit mebicarakan sesuatu. Tampak seperti seorang ahli strategi yang siap menyusun penyerangan. Sesekali mulutnya ditodongkan pada sebuah alat komunikasi genggam yang tak henti berbunyi riuh seperti radio.
+++
            Kubangkitkan tubuhku dari tempat dudukku. Segera ku ikutkan diri untuk bergabung dengan gerombolan relawan berbaju orange ini. Kupasangkan pendengaranku lebih tajam untuk mengikuti topik pembicaraan yang sedang mereka permasalahkan.
“… Besok kita akan mulai penyisiran lagi jam 08.00 atau menunggu konfirmasi dari pusat… setuju…”, kata seseorang bertopi hitam itu.
            “Kalo boleh aku ikut besok.”, sahutku mencoba memotong pembicaraan.
            Semua tampak terdiam oleh suaraku. Seakan ada petir mengelegar dari balik bukit yang lantang mencekam. Suasana terasa menjadi terdiam sekejap.
            “Begini… Mas. Lebih baik Mas disini dulu saja. Lagipula kondisi Mas kan masih belum stabil.”, sahut Edy menenangkan.
            “Tapi… Aku harus mencari keluargaku. Walaupun mereka telah meninggal sekalipun, harus bisa kupastikan jenazahnya.”, jawabku dengan suara lebih lantang.
            “Istighfar… Mas… Istighfar…. Belum tentu juga keluarga Mas sudah meninggal. Semua kemungkinan bisa saja terjadi.” Sahut Edy mencoba menenangkanku.
            Pikiranku terasa bertambah semakin kalut. Aku menjadi seseorang yang tak bisa menahan emosiku. Bahkan jika Edy tak mencoba menenangkanku, mungkin aku bisa berteriak lebih kencang.
            Tiba-tiba hujan deras menguyur ke bumi. Membubarkan kerumunanku yang mulai tampak berjejal oleh orang lain.  Membuyarkan seluruh perhatian untuk berteduh dari hujan yang mulai deras mengguyur pengungsian.
            Kuteduhkan tubuhku di bawah barak pengungsian yang sedikit bocor, atapnya yang berlubang membuat air bisa sedikit meresap jatuh menetesi orang yang ada di bawahnya. Hujan semakin tampak terlihat deras membasahi debu abu yang mulai menebal. Suara gemericiknya bersahutan dengan suara kumadang adzan di awal Ashar ini.
+++
            Sholatku terasa tak sekhusyuk biasanya. Pikiranku masih tertuju pada nasib keluargaku yang menghilang. Hanya bisa ku ikuti gerakan imam dan tanpa terasa telah berakhir dengan salam. Pikiranku melayang tak karuan pada sore hari itu.
            Di akhir sholat itu kupanjatkan sebuah harapan terbesarku pada Allah SWT. Doa terbesar yang menjadi sebuah kebimbangan dalam pikiran dan jiwaku.
            “Ya Allah, jika mungkin Kau berkehendak untuk mengambil hidup keluarga hamba-Mu. Aku ikhlaskan semuanya pada-Mu. Dan ijinkanlah hamba untuk bisa menerima dan merawat jenasahnya.”
            Kuhentikan doaku sembari menghela nafas panjangku.
            “Namun, jika Kau masih memberikan sebuah asa untuk merajut cita masa depan. Ijinkanlah juga hamba untuk bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga. Aku pasrahkan semuanya kepada-Mu. Karna hanya Engkaulah Sang Pemberi Hidup.”
            Kutundukkan pandanganku.di tikar sujudku. Memandangi pikiran kosongku pada harapan terakhirku ini.
            Tiba-tiba seseorang menepuk pundak kananku. Kutolehkan pandanganku kepadanya dan Nampak olehku Edy. Seakan dirinya berharap akan mengatakan sesuatu kepadaku. Memberi sebuah kabar penting yang akan kudengarkan.
+++
Kuikuti langkah Edy yang membawaku ke pojok bilik sholat itu. Kuperhatikan benar-benar raut mukanya yang mulai tampak lelah kecapekan. Kutatap alis matanya yang tampak hitam tebal menghiasi matanya yang tajam. Seakan ingin mengucapkan suatu pertanda untukku.
            “Begini Min… Aku ada kabar untukmu. Mungkin bisa jadi kabar baik dan juga kabar buruk.”, sahut Edy memulai pembicaraan.
            “Apa maksudmu. Buruan katakan. Jangan buat aku penasaran.”, lanjutku.
            Edy mencoba menghela nafas panjang untuk memulai ceritanya seakan ada sesuatu hal besar yang akan keluar dari ucapannya.
            “Ini mengenai keluargamu….”
            “Maksudmu?”
            “Iya… Begini…”
            “Bagaimana keluargaku?”
            “Ibu, dan dua adikmu selamat dari awan panas. Sekarang meraka dirawat di Sardjito. Kondisinya nggak lumayan parah. Tapi jangan kuatir. Kata tim meraka cuma terkilir dan luka ringan. Tapi…”
            “Tapi apa, Ed?”
            “Bapakmu belum dapat diselamatkan. Jenasahnya kini masih di Sardjito untuk diotopsi. Tadi siang tim berhasil menemukan meraka.”
            “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un…”
            Pikiranku seakan menjadi lebih tenang. Berita yang Edy sampaikan seakan telah mengobati rasa penasaranku akan kebimbangan yang kurasakan. Dalam satu sisi harus kuterima kenyataan bahwa Bapakku yelah di panggil oleh-Nya. Namun, disisi lain Allah telah memberikan sedikit semangatku untuk kembali merajut mimpi bersama Ibu dan dua adikku. Ini menjadi sebuah jawaban akan doa yang kupanjatkan. Sebuah doa yang ku luapakan sebagai sebuah untaian senyum untuk tetap menggapai asa.