Minggu, 27 Maret 2011

Uhibbuka fillah aku mencintaimu karena Allah


cerpen
jalan cinta sang mujahid


"Cinta adalah anugerah Allah...
Setidaknya Engkau yang menghadirkannya...
Biarkan kutitipkan rasa cinta ini hanya kepada-Mu...
Hingga suatu saat nanti...
Kuyakin ku kan mampu...
Menghadirkan senyumnya hanya karena-Mu..."


Cinta pergi…
Laksana ribuan jarum yang siap menghujam hatimu…
Cinta datang…
Bagaikan oase yang hadir pada sang musafir gurun…

Biarkan cinta terbang dan hinggap…
Seperti sang merpati yang mengais secerca rejeki…
Seakan hanya sebuah harap yang Allah hadirkan…
Tuk menemani langkah setiap insan menapaki jalan cinta-Nya…

Seakan sang anak panah kembali menemukan busurnya…
Laksana mata air berkelok melaju deras menuju hilirnya…
Sang cinta pun telah menemukan jalan takdirnya…
Dan Allah tlah menghadirkan cinta pada ketulusan jiwa manusia…

Sang cinta pun menemukan satu jalannya sendiri..
Tuk bersama menapaki jalan cinta Sang Ilahi…
Hingga senyum itu pun mengalir…
Karna cinta hadir dari satu anugerah…
atas rasa syukur dan ikhlas akan kehendak-Nya…

Dan…
Jika kau tanya siapa sosok yang Allah hadirkan…
Yang kutahu…
Allah kan hadirkan cinta yang tepat …
pada insan yang tepat…
Bagaikan sang cinta yang menemukan jalan takdirnya sendiri…

Rabu, 23 Maret 2011

Tak Perlu Kau Tunggu



Meskipun siang berganti dengan malam…
Dan hujan deras menyelingkupi sekalipun…
Tapi langit tak kan pernah gelap gulita menggerayangi…
Dan begitupun kasih sayang seorang ibu…
Tak kan habis termakan waktu…
Tak kan musnah termakan keadaan…

Hmm…
Enak kali ya, ketika kita lelah kecapekan… tinggal bilang satu kata “Ibu…”
Dan datang seorang tukang pijit membenahi urat nadi kita.
Enak kali ya, ketika kita kelaperan… tinggal bilang satu kata “mama…”
Dan datang seorang tukang masak membawakan menu spesialnya.
Enak kali ya, ketika kita kedingian… tinggal bilang satu kata “ummi…”
Dan dateng seorang bidadari membawakan selimut tebalnya.

Ingat betapa besar pengorbanan seorang ibu pada anaknya.
Jika dibandingkan dengan balas budi kita.
Tak lebih dari cukup kita melunasinya.
Bahkan dengan semua harta yang kau punya sekalipun.

So, tak perlu kau tunggu dirimu kaya…
Hingga kau mampu membahagiakannya.
Tak perlu kau tunggu dirimu tua…
Hingga kau mau menghadirkan senyumannya.
Tak perlu kau tunggu dirimu kuasa.
Hingga kau bisa membalas keletihannya.

Mengapa harus menunggu…
Jika dirimu ingin membalas pengorbanannya.
Berikan belaian cintamu.
Sebelum kau melihat jasadnya terbungkus kain putih.
Berikan perhatian sayangmu.
Sebelum waktu tlah mengubah takdirmu.
Hapuslah air matanya…
Hadirkan senyum bahagianya…
Tak perlu kau tunggu tuk bilang…
Aku sayang kamu Ibu…


Selasa, 15 Maret 2011

Rindu Seruan Syuro'» versi ihwan



Brotherhood of  Muslim
dedicated to spirits of  KMT’ers

Meskipun
Kau cerca aku dengan jutaan fitnah mediamu
Tapi aku tak kan gentar untuk melangkah maju
Walaupun…
Kau koyak tubuhku dengan ribuan selongsong peluru
Tapi aku tak kan lari memalingkan semangatku
Biarlah…
Kau hempas badan ini dengan ratusan cambukan
Tapi aku tak kan ragu tuk menyuarakan kebenaran

Karna…
Ingin kubuktikan pada dunia, bahwa…
Islam itu cinta damai
Islam itu berprestasi
Islam itu satu
Dan dengan lantang akan kuteriakkan…
“I’m a Muslim and I’m not a terrorist”


            Pagi itu alarm jam berdering kencang membangunkan rajutan mimpiku yang semalaman melayang jauh dari tempat tidurku. Mengalun keras mengisi seluruh penjuru ruangan serasa ikut bergetar dibuatnya. Dan segera ku kembalikan sejenak posisi punggungku untuk duduk tegak. Bersandar pada sisi kasur yang terasa empuk di balik badanku.
            Tulang – belulangku terasa sangat sakit karena rasa capek dan lelah yang mendera di sekujur tubuhku. Membuat rasa ngilu di setiap persendian yang ku rasakan di punggungku.  Aktivitas padat akhir – akhir ini membuat waktuku seakan mengalir dengan begitu cepat. Namun, seakan semangat yang muncul di pagi itu telah terbit bersama sang mentari yang siap menyapa indahnya alam raya.
            Setelah sholat subuh ku buka lemari baju berbahan kayu mahoni itu. Ku buka lemarinya yang berhias ukiran japara. Jemariku meraba satu per satu sisi lipatan baju yang tertata rapi di tiap raknya. Dan segera kutemukan sebuah buku agenda tebal berwarna coklat kehitaman dari balik selembar baju berwarna koko putih. Baju koko yang sedari tadi malam  telah kupersiapkan menghantarkan laju semangatku di pagi ini.
            Ku buka lembar demi lembar catatan kegiatan yang ku tulis teratur berderet ke bawah. Ku pandangi secara berurutan dan mataku tetegun melihat satu jadwal yang ku tulis di satu lembar tersendiri. Tulisannya yang tebal membuat kalimatnya yang tegas akan dengan mudah ku baca dan ku perhatikan setiap katanya.
            “Hmmm… Ya ya… Talk show n bedah buku”, batinku dalam hati.
            Segera ku kembalikan buku tebal itu di atas tumpukan bajuku. Namun, sejenak pikiraku tertuju pada satu jaket yang menggelantung di sisi lemari sebelahnya. Jaket berwarna biru tua dengan garis putih di sisi tengahnya. Ku raba dan kupandangi dengan seksama, nampak jelas tulisan di sisi dadaya “Keluarga Muslim Teknik”.
***
Pikiranku melayang padha satu periode waktu lampau. Seakan detik jam mulai terasa mengikuti alur ceritaku untuk mau menjelajahi sang ruang waktu. Mengembalikan ingatan akan peristiwa yang ku alamai bersama jaket kenangan berwarna biru tua itu.
Dua tahu yang lalu, di masjid kampus UGM masih teringat saat ku desakan badanku di antara puluhan penggemar Habiburahman El Shirazy yang dengan setia menunggu kedatangan penulis besar itu. Aku bak seekor lebah yang mulai menuju sarang madunya. Berharap akan mendapatkan sebuah kenikmatan madu. Dan madu itu laksana sebuah ilmu yang akan terus mengalir dalam pikiran dan jiwaku.
Mataku terperanjat ketika melihat Kang Ebik muncul di depan dan naik ke atas mimbar pembicara . Dengan wajah tenangnya, ia membuka salam di malam itu.
Assalamu’alaikum wr wb…
Para penonton yang hadir sejenak terdiam. Dan seketika dengan kompak mereka menjawab bersamaan. Suaraya lantang memekakan langit malam kota Yogyakarta.
Waalaikumsalam wr wb….
Hatiku seakan tak percaya melihat kedatangan sang novelis terkenal itu di depan mataku secara langsung. Jantungku berdebar kencang membuat aliran darah yang mengalir di sekujur tubuhku terasa semakin bertambah kencang.
Malam itu banyak pelajaran yang dapat ku peroleh, Kang Ebik telah mampu membawakan suasana malam itu menjadi lebih khidmat dan tenang. Puluhan penonton seakan serasa di sihir oleh kata – kata penyemangat yang ia hadirkan. Beliau menghadirkan satu semangat baru dalam perjuanganku ini. Seakan cerita dan tutur kata yang beliau hadirkan telah menyihir hampir seluruh penonton yang ada.
“Menulis memang persoalan yang gampang, tetapi menulis tulisan yang baik dan mampu menginspirasi banyak orang itu yang tak gampang. Setidaknya satu inspirasi menilis adalah membaca. Bagaimana kita bisa jadi penulis hebat jika kita tak mau membaca karya – karya hebat penulis.” , batinku dalam hati.
Malam itu Kang Ebik telah sedikit mengubah ideologi pemikiranku. Setidaknya dengan mengubah cara pemikiranku telah mampu menghadirkan satu kesempatan yang luar biasa untuk mampu mengubah dunia.
***
Bagiku menulis adalah satu kehidupan lain dari beberapa kesenangan yang ku lakukan. Dari menulis, ku mampu memberikan satu ruh terendiri dalam menyikapi sebuah realita hisup yang semakin terasa penat ini. Kudapatkan sebuah rasa kegembiraan ketika ku mampu mengungkapkan sebuah ide pemikiran menjadi sebuah goresan kata. Hingga akhirnya kata demi kata itu muncul menjadi sebuah kalimat tersusun dalam paragraf yang padu.
Masih terbayang erat di pikiranku ketika ku larikan tubuhku mengejar bis yang akan membawa rombongan anak KMT mengunjungi sebuah tempat produksi surat kabar harian di Jogjakarta. Ku peroleh banyak pengalaman ketika berdiskusi dengan para jurnalis dan melihat secara langsung produksi pembuatan surat kabar itu. Dari sinilah mulai muncul semangat untuk membuat tulisan menjadi sebuah media yang menakjubkan.
“Aku ingin mengubah dunia dengan media. Liat saja kenyataan yang sekarang terjadi. Seakan media menjadi sebuah sarana praktis untuk membuat sebuah isu dalam masyarakat. Hanya dalam waktu sekilas orang bisa menjadi lebih paham ketika menyaksikan dan membaca bahan dalam media.”
“Mulai dari tukang parker hingga presiden pun bisa masuk dalam berita di media. Naah… jika kita mampu membuat media dengan lebih positif, maka akan mampu kita mengubah dunia menjadi lebih positif”
Suara – suara itu terdengar lantang dalam sanubariku. Seakan timbul semangat dalam lilinku yang meredup dan mulai bersinar terang. Hingga cahayanya kan kembali mampu menerangi ruangan sekitarnya.
***
Jaket berwarna biru tua itu telah mengantarkan semangatku untuk terus maju.  Seakan ketika ku pandangi jaket biru itu kan ku bayangkan satu per satu wajah sahabat yang selalu menyertai langkah takdirku. Sahabat yang hadir dalam satu kesatuan warna untuk menunjukan kebersamaan dalam Islam. Sahabat – sahabat yang hadir menemani langkahku ketika tertaih dan terus menopang semangatku.
Hingga akhirnya langkahku pun menuju dari satu per satu tempat produksi yang mau menerima karyaku. Seakan aku hanya bisa berharap jika goresan penaku kan mampu menginspirasi banyak orang. Namun, dari satu kesatuan tempat produksi yang ku jelajahi, semua meberikan jawaban yang sama.
“Maaf mas… Mungkin belum untuk saat ini.”
Jawaban itu sesaat membuat semangatku kembali patah. Tak banyak yang bisa kulakukan sesaat itu. Seakan aku laksana sang pejuang yang belum juga menemukan titik kemenangannya.
Ku rogoh dompet yang terletak di saku belakangku. Ku buka reselting yang menguncinya rapat. Terasa tebal penuh bukan dengan uang melainkan dengan kertas – kertas kwitansi. Ku buka dengan lebih – lebar isi yang ada di dalamnya, dan nampak olehku selembar uang sepuluh ribuan. Ku coba mencari – cari di selanya. Tapi tak ku temukan juga. Dan hanya menyisakan uang sepuluh ribuan tunggal sebagai bekal perjalananku.
Memang sejak lulus kuliah, ku coba langkahku untuk bisa mandiri tanpa bebn orang tua. Ku perjalankan tubuhku ini untuk mencari sesuap rejeki di tengah -  tengah kegundahan hati dan semangatku yang mulai sirna terhembus oleh sang angin. Hingga perjalananku sampai juga di ibu kota nan panas ini.
 Kujejakkan ke sebuah masjid kecil di pinggir jalan raya. Badanku yang terasa sangat letih membuat punggungku terasa kaku. Masih di tambah dengan kaki yang terasa mengeras karena telapaknya terlalu lama untuk melangkahkan jejakku di tanah Allah ini.
Kurebahkan sejenak punggungku ini di serambi masjid. Terasa sangat nikmat dan syukur ketika sumilir angin menambah hawa sejuknya menjadi lebih terpadu dengan rasa letihku. Seakan aku laksana seorang musafir yang menemukan mata air kesejukannya.
 “Alhamdulillah Ya Rabb… Kau masih berikan kesempatan hamba untuk bisa berucap syukur hari ini.”, lirihku dalam hati.
Tak lama kemudian ku ambil air wudhu. Kubiarkan sejenak menyentuh kulitku yang terasa semakin mencoklat kepanasan. Seiring dengan kumadhan adzan maghrib yang melengking merdu membahana dalam langit kota Jakarta ini. Bak sebuah oase di tengah gurun yang panas.
***
“Ya Allah… Aku tahu Engkau Maha Cinta… Engkau Maha Pengasih…
“Apakah kau tega biarkan hamba menangis sendirian di tengah – tengah asingnya kota metropolitan ini. Jika kau berikan hamba kesempatan untuk bisa berjuang di jalan-Mu. Ijinkanlah hamba untuk bisa membalas kebaikan orang – orang di sekeliling hamba dengan senyum kesukesan. Namun, jika kau masih menunda kesempatan itu, jangan biarkan hamba jauh dari cinta-Mu. Jika ini bisa mendekatkan diriku dengan cinta-Mu. Ku coba untuk ikhlas menerimanya Ya Allah”
“Ya Allah berkahilah niat baik hamba Ya Allah… Amin Ya Rabbal alamin…”
Kata – kata ini mengalun lirih dari bibir keringku. Terasa kering karena tak terbasahi oleh air yang mengucur ke dalam tenggorokanku. Justru perlahan air mata ini yang mulai mengucur tak terbendung dari kelopak  mataku. Mengalir menyisiri kedua pipiku dan jatuh menetes ke bawah.
Seiring dengan itu, hujan deras tiba – tiba ikutan mengucur dari balik awan. Seakan langit tampak setia menemaniku untuk ikut mengucurkan air langitnya. Jatuh beraturan membasahi bumi Allah menebarkan keberkahannya.
***
“Maaf Pak, Saya ijin berteduh dan nunggu hujan reda di sini ya?”, pintaku mengiba kepada seorang yang kulihat penduduk sekitar masjid itu.
“Silakan… silakan…”, jawabnya pelan.
Bapak berjenggot tebal itu seketika menata nafasnya. Ia bersiap menggulirkan kalimat susulannya.
“Bahkan jika Mas mau nginep disini. Silakan aja. Lagipula kan hujan di luar begitu deras. Silakan saja jika Mas mau nginep disini.”, tambahnya sopan.
Pikiranku sesaat terbayang pada uang selembar sepuluh ribuan yang tersisa di dompetku. Dan tanpa pikir panjang kuterima tawaran bapak itu.
“Iya… iya pak terima kasih”, jawabku.
“Mas kerja dimana?”
“InsyaAllah lagi mencari pekerjaan, Pak”
“Hmmm… ya ya… Mudah – mudahan Allah mengabulkan doa Mas ya. Kulihat tadi khusyuk sekali ketika berdoa.”
“Amin… Amin…”
“Ya sudah tak tinggal dulu. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam wr wb…”
Pak berjenggot tebal itu segera bergegas meninggalkanku sendirian terduduk di dalam masjid. Terasa sepi dan dingin menggerayangiku. Kuhabiskan malam itu dengan dua butir roti kering yang masih tersisa di tas gendongku. Menghantarkanku dalam tidur yang tak begitu nyenyak.
***
Minggu pagi kembali ku langkah kaki tuk menawarkan tulisan di salah satu tempat produksi ternama di kota Jakarta. Panasnya terik mentari dan macetnya suasana kota membuat cucuran keringatku membasahi baju hitamku. Rasa haus dan dahaga yang menyeruak di tenggorokan terasa semakin membuat kepenatan otakku bertambah dua kali lipat. Hingga akhirnya ku lepaskan jaket biru tua itu agar tak semakin menambah parahnya rasa terik mentari ini.
Ku masuki sebuah tempat produksi terkemuka di kota Jakarta itu. Dengan detak jantung berdebar kencang ku beranikan langkahku memasuki dan menemui pemilik tempat produksi. Sebuah jawaban menggetarkan penantianku ketika kuperoleh jawaban yang sama dari sebelumnya.
“Maaf Mas… untuk saat ini belum bisa…”
Airmataku terasa terhenti tak mau mengalir. Namun, hatiku terasa perih untuk mau menerima kenyataan itu. Namun, itulah peristiwa yang telah kuhadapi di depanku.
Seluruh peserta talk show tampak tertegun mendengar ceritaku. Seakan mereka ikut terbawa suasana akan cerita yang kualirkan. Di depan ratusan peserta itu kucoba beberapa kali tuk bisa tersenyum mengingat peristiwa pahitku. Aku bagaikan satu pusat pemandangan yang menjadi perhatian ratusan mata.
“Ya itulah sepenggal kisah yang baru saja kita dengar dari Zulham Airlangga. Dan setidaknya kita ketahui sekarang bahwa pengorbanan yang telah beliau lakukan di masa lalu telah menghasilkan sebuah hikmah terdalam dari Sang Kuasa.”, ucap sang moderator menyela.
Aku hanya bisa mengangguk terseyum mendengar kata – kata moderator.
“Ya, setidaknya saya mencoba untuk tetap bisa bersabar dan ikhlas dalam jalan cinta-Nya. Dan Allah mengabulkan doa – doa saya.”, jawabku singkat.
Aku kembali terhenti sejenak. Mengatur nafas tuk mengeluarkan kata – kata lanjutannya.
“Untuk buku ketiga yang saya launching hari ini. Saya dedikasikan buku ini untuk semangat sahabat, isteri, dan anak saya. Mereka telah memberikan sebuah semangat baru untuk langkahku kembali mengalir hingga menjadi sukses seperti saat ini, terutama untuk isteri saya.”, tambahku.
“Ya… dan dengan ini maka novel ketiga karya penulis kita Zulham Airlangga yang berjudul Rindu Seruan Syuro’ telah dilaunching. Semoga bermanfaat untuk diri kita semua. Selamat berkarya kembali Mas Zul.”, tambah sang moderator.
Kalimat itu diiringi dengan tepuk tangan riuh para peserta talk show. Membuat hatiku sedikit bergetar ketika ku saksikan satu pandangan dari bangku penonton yang nampak tersenyum indah dari balik balutan jilbabnya. Senyum yang kembali menegarkan semangatku selama ini bahwa semua penantian yang telah ku tunggu telah menemukan jawabannya. Senyum ikhlas yang kudapati dari balik bibir seorang perempuan tangguh yang kini menjelma menjadi isteri tercintaku. Satu cinta yang Allah hadirkan menemani jalan cinta-Nya.
“Alhamdulillah Ya Rabb…”, batinku dalam hati.

Jumat, 11 Maret 2011

« Secarik Surat untuk Pak BeYe »

Didedikasikan untuk TKI dan TKW Indonesia



Namaku Sumarni, aku hanyalah seorang wanita yang tetap mencoba tangguh hidup di negeri orang. Bukan untuk merefresh pikiran dan hati yang lelah karena kesibukan, melainkan untuk mencari sesuap nasi dari secerca anugerah yang Allah hadirkan di bumi cinta-Nya.
Lima tahun sudah aku menjejakkan hidup di tanah seberang ini. Jauh dari keluarga dan sanak kerabat yang aku kenal. Ribuan mimpi dan harapan mengantarkanku berani menyebarangi lautan dan samudera. Namun, bukannya duit melimpah yang aku dapatkan. Sepeser uang saja terasa sulit mengalir ke kantong rejekiku. Mungkin Allah sedang mengingatkanku untuk tetap sabar dan ikhlas menerima jalan hidup-Nya.
Aku mungkin bukan satu – satunya pekerja yang mencari secerca rejeki di tanah orang. Ratusan bahkan ribuan penduduk Indonesia pindah ke negeri orang. Bukan sebagai seorang yang ingin menghabisakan harta melimpahnya, melainkan untuk menyambung nafas keluarga yang mulai terjerat perekonomian di tanah kelahirannya. Hidup sebagai seorang Tenaga Kerja Wanita Indonesia.
Masih teringat kenangan terakhirku dengan suami dan dua anak kembarku. Semuanya terekam jelas dalam memori otakku yang mulai tercuci ringan. Tersapu oleh jutaan peristiwa yang membersamaiku di Tanah Arab ini.
Dan kata terakhir yang masih jelas kuingat adalah…
“Emak… Aku sayang emak…”
Kata itu tiba- tiba menyeruak dari bibir mungil anak kembarku. Mengalun pelan masuk lewat daun telingaku, tembus melalui gendang telinga, dan menjalar terekam erat di otakku menjadi sebuah memori yang terekam erat.
Tanpa sadar semua hanya kan menjadi sebuah cerita yang akan selalu ku impikan untuk ku ulang kembali. Namun semua hanyalah terasa bagaikan pemanis setelah kualami peristiwa menyakitkan ini. Peristiwa yang membuat rasa rindu akan tanah airku semakin memuncak hingga tanpa sadar membuat air mataku yang tertahan jatuh membasahi kedua belah pipiku.
***
Dua tahun sudah kuhabiskan hidup di penjara sebagai seorang yang di tuduh sebagai seorang  “tersangka”. Entah tak habis pikir tentang hukum dunia yang ku alami. Mungkin aku mulai merasa muak melihat semua kepahitan ini. Hukum yang serasa dipermainkan oleh duit dan ribuan ketidakadilan lainnya. Seakan terasa yang kuat makin berkuasa dan yang lemah makin tertindas.
Aku hanya bisa diam terbelunggu bercampur dengan para pencopet, penjudi, maling kecil dan penjahat kelas teri lainnya. Sedangkan para koruptor, pencuci uang, pembobol uang rakyat, lebih eksekutif beristirahat sejenak di sel tahanan. Jika mereka mau pun mereka bisa titip absen untuk sekedar memenuhi agenda rutin tahanan. Dan lebih payahnya lagi mereka dapat memilih tempat refresing karena kepenatan udara di lapas. Sungguh pilunya keadailan di dunia yang kualami.
Hari demi hari kuhabiskan sebagai seorang dengan status NARAPIDANA PALSU. Semua terjadi setelah peristiwa memilukan yang telah mengubah kehidupanku. Ketika dunia tak sependapat denga kebenaranku. Dan aku harus mengakui satu perbuatan yang tak pernah kulakukan ini.
Majikanku telah menuduhku mencuri, dan malangnya lagi aku sempat akan menjadi korban pemerkosaan biadab para syetan berambut itu. Dan karena takut ketahuan mereka telah menuduhku melakukan pencurian di rumah mereka. Seakan dunia hitam berpihak di sisi mereka. Sehingga sepertinya mereka mampu membuat sidang pengadilan menjadi sebuah sandiwara yang telah mereka setting dengan cukup rapi. Alhasil, kini dirikulah yang harus mendekam di balik bui gelap ini. Sedangkan mereka yang bersalah, mungkin tertawa lepas untuk merayakan kemenangan mereka seraya mencari korban lainnya.
“Bagiku mungkin ini lebih baik dibandingkan harus melayani nafsu bejat meraka. Mendingan aku terkurung di dalam bui daripada harus mengorbankan kehormatanku”, batinku dalm hati.
***
Kupandangi langit – langit penjara yang penuh dengan sarang laba – laba. Tampak kotor dengan berbagai macam kotoran serangga hingga tak kelihatan lagi warna putihnya. Hanya meninggalkan satu bayangan yang nampak jelas seketika ku lihat ada bekas air hujan yang mulai bocor mrembes hingga membasahi eternit.
Ku bangunkan tubuhku yang semula terebahkan di lantai bui ini. Ku tegakkan sejenak mendekat ke arah meja tulis. Ku ambil secarik kertas tulis dan pulpen. Ku pikirkan sejenak apa yang ingin ku tulis. Ku pandangi kembali langit - langit kamar untuk sejenak mengembarakan pikiranku menuju tanah air. Dan seketika itu ku gerakkan tanganku menggoreskan pena di selembar kertas putih itu.

Kepada Yth. Bapak Presiden SBY
di istana

Dengan hormat,
Pak Presiden yang saya hormati. Saya tahu Bapak orang paling sibuk di Indonesia. Bapak orang nomor satu di Indonesia. Dan Bapak adalah tokoh yang menjadi perwakilan seluruh warga Negara Indonesia.
Jika dibandingkan Bapak, mungkin saya hanyalah setitik air limbah yang tak berguna. Jangankan tersiksa, sampai meninggalpun tak banyak orang yang menangisi jasadku. Tapi selama ini, saya juga termasuk warga Negara Bapak yang mencoba untuk patuh hukum.
Saya adalah satu dari ratusan orang yang berkelana di negeri orang. Bukan untuk menghambur – hamburkan duit seperti para koruptor, melainkan hanya untuk mencari sesuap rejeki. Bagi kami bekerja halal di negeri orang lebih baik daripada mengemis di negeri sendiri. Setidaknya kami masih punya tenaga untuk memperoleh hidup. Kami masih punya rasa malu untuk meminta belas kasih iba orang lain. Terlebih lagi kami masih punya iman untuk sekedar tak berbuat jahat hanya tuk sekedar uang makan.
Bapak bilang kami adalah pahlawan devisa negara. Namun, apakah seorang pahlawan pantas tuk didiamkan oleh Negara. Apakah seorang yang dianggap pahlawan harus menderita selamanya tanpa ada secerca asa tuk bisa kembali tersenyum.
Kali ini saya merasakan ketidakadilan di negeri orang. Fitnah dan kedzoliman yang saya alami di negeri orang ini membuat rasa berani saya untuk memelas kepada Bapak. Jika Bapak masih berkenan memberikan saya sedikit belas kasihan, setidaknya saya hanya ingin kembali berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman. Kembali bertemu dengan keluarga tempat saya bernaung secara aman. Saya rindu kecerian hati mereka untuk bisa tersenyum.
Saya yakin Bapak orang super sibuk, tapi tidakkah Bapak iba melihat penderitaan sebangsanya terdzolimi di negeri orang. Bukankah Bapak orang berpendidikan tinggi, sanggupkah bapak membiarkan warga negaranya merana di negeri tetangga.
Saya mohon belas kasihan Pak Presiden.


                                                                                                           Hormat Saya
                                               
                                                                                                               Sumarni

Sumarni menghentikan goresan penanya. Ia mengalirkan air mata derasnya yang bercucuran melewati kedua kerut pipinya. Seketika itu ia masukan surat itu ke dalam amplop putih. Ia tuliskan besar besar di samping kanan tengah amplop itu.
Kepada Pak Presiden SBY
Di istana Negara

“Inilah sepenggal kisah kerinduan seorang Warga Negara Indonesia akan seorang pemimpin yang dapat merakyat. Seorang pemimpin yang tidak hanya memperhatikan nasib pemerintahan semata, namun juga mau memperhatikan nasib warga negaranya di negeri orang.”
            “Setidaknya para TKI dan TKW juga Warga Negara Indonesia juga, hanya nasib sajalah yang kurang bersahabat dengan diri mereka. Mereka harus mau bekerja keras di negeri orang hanya untuk mencari sesuap rejeki. Namun, setidaknya mereka juga manusia yang memiliki mimpi dan cita untuk menggapai kesuksesan masa depan.

«Rindu Seruan Syuro'» versi akhwat


Brotherhood of  Muslim
dedicated to spirits of  KMT’ers


Meskipun
Kau cerca aku dengan jutaan fitnah mediamu
Tapi aku tak kan gentar untuk melangkah maju
Walaupun…
Kau koyak tubuhku dengan ribuan selongsong peluru
Tapi aku tak kan lari memalingkan semangatku
Biarlah…
Kau hempas badan ini dengan ratusan cambukan
Tapi aku tak kan ragu tuk menyuarakan kebenaran

Karna…
Ingin kubuktikan pada dunia, bahwa…
Islam itu cinta damai
Islam itu berprestasi
Islam itu satu
Dan dengan lantang akan kuteriakkan…
“I’m a Muslim and I’m not a terrorist”


            Aruni hanya bisa diam termenung di kamar tidurnya. Ia pandangi layar laptopnya dengan penuh seksama. Sementara jari-jari telunjuknya asyik menggulirkan mouse optic yang menyala berkelap-kelip begitu indah. Kipas angin yang bergulir berhembus terasa sangat sejuk menghadirkan kesegarannya tersendiri. Sementara detik jam dinding bak musik penghibur di gundahnya hati Aruni siang itu.
Ia pandangi satu per satu foto yang ia ambil dari kamera digitalnya. Terasa indah menghadirkan satu senyum kecil dibibirnya. Ia kembali gulirkan satu persatu foto kenangan itu seiring dengan detak jarum jam yang bergulir teratur.
Di atas foto itu terpasang sebuah nama besar yang sama yaitu Keluarga Muslim Teknik. Terpampang teratur dari setiap satu per satu foto yang ia pelototi. Foto itu adalah kenangan-kenangan yang ia abadikan dari kamera digitalnya. Kenangan ketika ia dan teman-teman lainnya sibuk dalam kegiatan organisasi islami ini.
“Hmmm… Kapan aku bisa kembali bersama dengan mereka?”, tanya Aruni dalam hati.
Dan tiba – tiba air mata menetes dari kelopak matanya. Menyentuh kedua belah lekuk lesung pipinya yang indah. Dan jatuh mengalir melewati selaput kulitnya dan berguguran membasahi jilbab cokelatnya.
***
Hati Aruni tak secerah mentari di sore itu, bersinar terik menghiasi langit kota Jogjakarta yang begitu mempesona. Mengalunkan keserasian dan keindahannya tersendiri. Menyelaputi hati dan jiwa Aruni yang semakin terasa agak bimbang.
Semua berawal dari peristiwa di siang itu. Siang panas yang telah sedikit melukai hati dan jiwanya. Terasa agak menyakitkan bagi seorang mahasiswi Teknik Sipil itu. Dan kini peristiwa itu masih membekas dalam diri Aruni.
“Memang dalam hali ini aku yang salah. Tapi kenapa mereka sampai sebegitunya terhadapku.”, batin Aruni dalam hati.
Ia mencoba mengambil handphone berwarna birunya. Ia raba-raba seluruh permukaan kasur untuk menemukan benda yang ia maksud itu. Dan seketika ia temukan, ia genggam dengan kencang dengan tangan kanannya. Dengan cepat ia ketikkan huruf demi huruf menjadi rangkaian kalimat yang muncul di layar handphone-nya.
Asalamu’alaikum wr wb… Nay, nanti sore ada syuro’ lagi jam berapa?
Terasa singkat tanpa ada embel-embel kalimat penghias lainnya. Tak seperti biasanya ia selalu riang mengetikkan tulisan kalimat pesan singkat itu. Namun, kali ini ada sesuatu yang merasa janggal menggerayangi pikirannya. Ia merasa canggung untuk menyebutkan kembali kata syuro’.
Sepuluh menit kemudian, pesan singkat yang ia kirim tak juga didapati balasannya. Aruni masih saja berharap cemas memandangi layar handphone-nya. Namun, tak ada satupun yang berbeda dari tampilannya.
Hati Aruni kembali merasa cemas tak menentu. Perasasan bingung, bimbang, dan bersalah kembali menggerayangi pikiranya. Gadis berjibab ini kembali menundukkan pandangannya ke layar laptop melihat satu per satu foto kegiatan yang ia abadikan.
“Hmmm… Ada apa dengan sahabatku ini? Kenapa ia tak juga membalas SMS-ku?”, batin Aruni dalam hati.
Pikiran Aruni sesaat kembali melayang di Senin sore ketika semua kejanggalan dan rasa bersalahnya mulai datang.
***
Di Siang sore itu, seperti biasa anak – anak pengurus harian KMT melakukan agenda syuro’ rutinnya. Mempersiapkan segala sesuatu yang ingin mereka lakukan dalam organisasi kampus lingkungan teknik ini.
Langkah kecil Aruni coba ia luncurkan dengan cepat. Ia gegaskan diri menaiki tangga ke lantai dua di kampus Teknik Mesin. Ia pandangi jam tangannya seketika yang mulai menunjukkan pukul 17.30.
“Aduh… udah telat ini…”, batinnya dalam hati.”
Mataya melototi satu per satu ruangan untuk mencari R M-1 yang ia tuju. Namun, sesaat matanya seperti terkaburkan untuk susah mendapati apa yang ia inginkan. Seakan ia tak menemukan satupun tulisan yang ia harapkan terpampang di atas pintu.
Dan akhirnya sepuluh menit kemudia baru ia dapati tulisan yang ia harapkan. Ruang M-1  terletak di paling ujung di pojok timur. Seketika itu ia gegaskan langkahnya menuju ruang yang ia tuju. Lari kecilnya menimbulkan suara sedikit agak bising di lantai dua ini. Suasana sepi yang ada membuat langkahnya terasa semakin jelas terdengar.
Ia beranikan membuka pintu ruangan, ia intipkan selayang mata kecilnya untuk melihat situasi yang ada di dalamnya. Terlihat meja kotak panjang yang dilingkari oleh beberapa pengedhe KMT lainnya. Tampak juga Mas Agil, mas’ul KMT sedang menyuarakan gagasannya ke forum.
“Assalamu’alaikum wr wb…”, seru Aruni pelan.
Semua mata tampak terhipnotis menuju ke arah Aruni. Seakan mereka secara kompak mengarahkan pandangannya. Hal ini membuat denyut jantung Aruni seketika bertambah kencang. Seakan ia telah berhadapan dengan makluk paling menyeramkan yang pernah ia temui.
“Wa’alaikumsalam…”, jawab mas Agil singkat.
Kata – kata yang keluar dari mas’ul KMT itu terasa sangat menggelegar di benak Aruni. Sesaat ada petir yang menghempas ke dalam pikirannya. Menjatuhkan satu kepercayaan diri yang telah ia bangun untuk berani datang telat di syuro’ pengurus harian ini.
Aruni mencoba memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang. Ia kumpulkan kembali keberaniannya untuk berhadapan dengan muka forum. Ia keluarkan kata-kata yang tampak susah keluar dari pita suaranya.
“Hmmm… Afwan saya datang terlambat. Tadi habis kuliah ketiduran di perpus. Maaf ya?”, kata Aruni mengawali pembicaraan.
Beberapa anak KMT lainnya mencoba menahan rasa tertawanya. Ia menutupi mulut dan melayangkan senyum kecilnya.
Antum tahu ini sudah jam berapa? Semua teman – teman nungguin antum.”, tanya mas Agil tegas.

“Iya… Mas. Saya minta maaf. Afwan…”, jawab Aruni.
Ane paling nggak suka kalo ada seseorang yang tidak menepati janjinya. Ane nggak nyalahin antumkenapa datang terlambat. Tapi jika ukhti sudah berjanji. Mbok ya usahain untuk menepatinya. Lagipula kan ukhti disini kan jadi koordinator acara.”
Aruni tak menyatakan secuil kalimat pun. Hatinya merasa bersalah dengan penjelasan yang telah di lontarkan mas’ul KMT itu. Ia hanya terdiam dan mencoba bergabung dengan akhwat yang lainnya untuk melanjutkan syuro’ yang tinggal bersisa sepuluh menit lagi ini
Setelah peristiwa itu, ia merasa teman – teman pengurus KMT merasa menjauhi dirinya. Ketika Aruni bertemu dengan teman lainnya di KPFT pun seakan mereka tak menyapa duluan. Justru Aruni lah yang mencoba menyempatkan diri menyapa terlebih dahulu. Teman – temannya itu serasa menjauhi diri Aruni. Dan ia merasanhal ini adalah sebuah tamparan besar akan arti persahabatan yang telah lama ia coba untuk membangunnya.
***
Peristiwa itu membuat hati Aruni sedikit terasa hancur. Seakan ia telah mendapatkan tuangan air panas di hatinya yang dingin. Ia telah menerima sebuah tanggung jawab dari kelalaian dan kealpaannya. Tapi sejenak batinnya mencoba bergejolak. Ia sesaat merasa tak mau disalahkan. Hatinya mengatakan tidak akan kesalahan yang telah ia lakukan.
“Kenapa mereka berbuat seperti itu kepadaku? Apakah sebegitu salahnya aku atas kelalaianku. Apakah mereka tak mau memaafkan kelalaianku. Padahal dalam Islam kan kita harus saling memaafkan.”, pikir Aruni sesaat kemudian.
Tiba – tiba air mata kembali membasahi pipinya yang putih. Mengalir menggelembung di kelopak matanya, dan membeludak jatuh menuruni pipinya. Bercucuran hingga menetes di kasur tempatnya rebahan.
Ia coba kembali melihat layar handphonenya, masih tetap sama tak menunjukkan ada pesan singkat yang masuk. Pesan singkat balasan dari Nia, sahabat yang mungkin selama ini paling dekat dengannya. Namun, ia tak juga mendapatkan satu balasan dari pesan yang ia kirimkan itu.
Ia seka air mata yang bercucuran dengan sapu tangan kecilnya. Ia mencoba untuk tetap tegar menghadapi cobaan persahabatan ini.
“Hmm… Aku tak boleh begini. Mungkin aku harus minta maaf lagi kepada semuanya. Hatiku boleh saja menangis tetapi bibirku harus tetap tersenyum.”, batinnya sembari bergegas dari tempat tidurnya.
***
Aruni… Aruni…
Aruni… Aruni…
Suara itu kembali terdengar beberapa kali dari luar kamarnya. Seakan ibunya telah memaggil dirinya untuk segera bergegas keluar kamar.
“Itu Nduk, ada tamu dateng. Mungkin temen kamu.”, seru sang ibu.
“Siapa, Bu”
“Coba kau tengok wae. Sana buruan.”
Tanpa pikir panjang, segera Aruni langkahkan kakinya menuju ke pintu masuk. Ia lihat  dari jendela banyak kendaraan yang tampak parker di halaman depan rumahnya. Ia tengok selintas dan yang mampak adalah temen – temen yang memakai jaket biru tua. Di belakang mereka tertuliskan “KMT UGM”.
Dag… dig… dug…
Debar jantung Aruni terasa semakin berdetak kencang. Ia merasa ada hal aneh yang ia jumpai di depan rumahnya itu.
“Kenapa temen – temen padha dateng ke rumahku.”, batin Aruni.
Ia coba beranikan diri untuk membuka pelan ganggang pintunya. Dengan halus dan lembutnya seketika menambah rasa penasarannya. Detak jantungnya sesaat semakin bertambah kencang.
Sedikit demi sedikit pintu itu terbuka dan menampakkan seseorang di balik pintu yang menghalangi tersebut. Dan satu wajah yang pertama ia temui adalah wajah Nia. Nia hadirkan senyum manis terhangatnya untuk berani ia layangkan kepada Aruni.
Dan tiba-tiba…
Surprisee… Met Milad Aruni…
Suara itu menggelegar kompak muncul dari temen – temen KMT. Terdengar indah membahana di depan halaman rumahnya. Senampan nasi tumpeng kuning telah mereka persiapkan untuk Aruni. Seakan seperti mereka telah mengatur semua peristiwa ini untuk membeikan sebuah kado spesial untuk Aruni di hari spesialnya.
Kejutan ini telah membuyarkan air mata kebahagiaan Aruni. Ia kembali meneteskan air mata keharuan. Seketika telah menghapus rasa sedihnya dengan rasa senang yang tak membuncah. Ia telah mendapatkan sebuah jawaban dari peristiwa aneh yang telah ia terima sebelumnya.
“Maafin kita Aruni… Kita telah merancang semua ini untuk memberikan kejutan indah di hari spesialmu ini…”, seru Nia kegirangan.
Jawaban ini semakin menambah rasa senang dan kagum Aruni kepada sahabat – sahabatnya ini. Mereka saling berbahagia, tak terkecuali Mas Agil, mas’ul KMT juga turut hadir di kegembiraan sore hari itu.
Kegembiraan yang telah menghapus kesedihan Aruni. Sebuah jawaban akan kejanggalan yang sebelumnya menghantui pikiran dan denyut nadinya. Dan semuanya telah terbayarkan oleh sebuah kata PERSAHABATAN.