Minggu, 26 Desember 2010

«Penantian Cinta dari Serambi Mekah»

commemoration of 6th year Tsumani in Acheh and North Sumatra

Hujan di sore itu tak kunjung reda juga. Padahal aku telah lama berdiam diri tak berdaya pindah dari depan toko buku itu. Badanku yang letih bercampur dengan bau keringat yang sedari tadi melekat di seragam putihku menjadi semakin apek saja. Masih ditambah lagi dengan percikan air hujan yang sedari tadi mengucurkan air derasnya. Menambah rasa kumal di badanku terasa semakin lengket dan bau.

Sudah sejam lamanya aku hanya diam bertaduh di selasar toko buku itu tanpa bisa melakukan apapun. Hanya bisa kupandangi langit yang sedari tadi mengucurkan air derasnya. Semakin cepat semakin menambah debit air yang menggenang di bawah kakiku. Dan lama kelamaan membasahi mata kakiku yang tak tertutup oleh sepatu. Sesekali kugaruk kuat lutut dan pahaku yang mulai terasa kesemutan. Terasa semakin menjalar hingga mematikan rasa seluruh kakiku.

Kucoba untuk merebahkan pantatku di selasar lantai toko itu. Terasa tak nyaman oleh hujan dan air yang mengucur dengan derasnya. Membasahi seragam yang kukenakan. Aku hanya bisa menutupinya dengan jaket kulit berwarna hitam. Mencoba menghangatkan tubuh kecilku yang mulai mengiggil kedinginan.

Aku hanya bisa memandangi langit yang menurunkan air hujan. Terlihat teratur dengan curah yang indah. Bagaikan sebuah rejeki yang adil ternbagi di setiap penjuru tempat. Tanpa ada satupun yang tak merasakan kenikmatannya.

“Subhanallah”, ucapku lirih dalam hati.

***

Jika kutatap langit yang menurunkan air hujan. Ada sebuah cerita lain yang kuingat melekat erat dalam cerita piluku. Cerita yang telah menghapuskan harapan dan semangat cintaku. Cerita yang telah memisahkan aku dengan calon istriku, Nayla Fatma Pratiwi. Seseorang yang benar-benar kuyakini akan menjadi ibu dari anak-anakku. Seseorang tokoh yang telah menghadirkan satu cerita indah tersendiri dengannya.

Namun, semuanya telah pupus menjadi satu kepahitan cerita lain. Sebuah rantai yang mulai putus kehilangan salah satu mata rantainya. Dan kini mata rantai itu telah hilang entah kemana. Menyisakan luka membekas dalam hati dan jiwaku.

Enam tahun yang lalu. Tepatnya 26 Desember 2004 semua cerita itu berawal. Cerita yang telah menghancurkan semangatku seketika melihat kondisi keluarga dan lingkunganku. Semua terasa telah habis dan musnah.

Nayla Fatma Pratiwi adalah gadis aceh yang kucintai. Sudah hampir empat tahun sebelumnya kami mengenal. Dia adalah teman dekatku sewaktu kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Aceh. Di kawasan Ulee Lheue inilah kami saling mengenal. Seakan telah menjadi sebuah takdir. Allah menghadirkan satu cinta terindah yang pernah kurasakan ini.

Semua berawal dari sebuah lomba menulis essay yang di selenggarakan oleh Depdiknas. Aku dan dia harus bersaing untuk merebutkan juara dalam lomba essay ini. Hingga akhirnya kami masuk ke final untuk memaparkan segala macam tulisan yang telah kami buat. Namun, rejeki lebih bertaruh kepadanya. Dengan bekal menulis dan daya kreatifitasnya, ia mampu menggagalkan rencanaku untuk memenangkan penghargaan ini. Dan aku harus puas untuk menjadi juara dua. Namun mulai dari sinilah aku mengenal sosok Nayla. Seorang gadis berjilbab keturunan Aceh yang sempat membuatku jatuh hati kepadanya.

Ada satu hal yang membuatku kagum melihat sosoknya. Ia adalah seseorang perempuan yang tegar dan semangat. Semuanya bisa kulihat pertama kali saat menjumpainya di final lomba essay Depdiknas. Dengan ketenangannya, ia mampu menjawab pertanyaan para pendengar. Dan bahkan kata-kata yang ia lontarkan mampu membius para juri untuk diam tak berkutik. Seakan mereka sedang menyaksikan sebuah opera drama hebat dari sebuah kursi empuk.

Dua tahun berlalu. Mulailah muncul benih-benih cinta yang kulalui. Hadir bermekaran dari lubuk hati terdalamku. Dan hinggap ke sumsum tulangku untuk mampu menghadirkan satu cerita cinta tersendiri dalam sepenggal kisah kehidupanku ini. Seakan aku telah menjadi seorang pangeran yang menemukan bidadari tercantik di lubuk hatinya.

***

26 Desember 2004
Masih teringat benar saat terakhir itu. Saat kucoba memberanikan diri untuk mengatakan sebuah pengakuan yang telah lama mengekangku ini. Sebuah perkataan yang mungkin hanya akan menjadi sebuah perasaan Maluku untuk mampu diungkapkan. Namun inilah kenyataan yang telah ku ungkapkan kepada sosok ciptaan Allah cantik bernama Nayla Fatma Pratiwi.


“Telah lama ku pendam perasaan yang selalu mengekangku ini.”, ucapku pelan.

Nayla hanya diam tak menjawab perkataanku. Seakan ia hanya menjadi pendengar setia dari setiap perkataan yang muncul dari mulutku. Dan aku laksana sebuah radio yang siap menghadirkan sebuah cerita-cerita cintanya.

Kucoba menghela nafas panjangku. Seakan bersiap menata setiap kata-kata yang siap kuluapkan. Satu per satu perkataanku mengalir menjadi sebuah puisi cinta yang begitu melekat di telinga.

Telah lama ku menanti seseorang yang menghantui pikiranku ini..

Hadir bagaikan seseorang yang membawa cahaya obornya…

Menyalakan satu cahaya lilinku yang telah lama redup…

Dan kini…

Aku ingin cahaya ini kembali semakin terang…

Dan suatu saat nanti kan mampu menyala lebih terang dengan satu cinta…

Ijinkanlah aku menyatakn satu peryataan terindah ini…

Sebuah pernyataan untuk mengatakan bahwa sebenarnya…

Mulutku diam tak meneruskan kata-kata yang kuungkapkan. Seakan aku baru menyadari satu kebodohan yang telah kulakukan. Aku bagaikan seorang yang membuka aibnya untuk mengatakan kesalahannya pada seorang puteri raja.

Dan dengan lirih kucoba mengucapkan perkataanku ini “Aku mencintaimu…”

Nayla hanya tersenyum melihat tingkah lakuku. Dia hanya menampakkan senyum simpul manisnya. Dan dengan tenang satu kalimat ia ucapkan kepadaku.

“Jika kau ingin menjadikan aku bidadari dunia dan akheratmu. Datanglah besok untuk mengkhitbahku. Temui orang tuaku untuk membicarakn semuanya. Jika Allah telah menakdirkan kita untuk bersama. Semua akan dipermudahkan.”, ucapnya sambil melangkah cepat meninggalkanku.

Aku hanya diam tak berkutik mendengar jawaban yang Nayla berikan. Ia telah memberikan kesempatan kepadaku. Kulihat Nayla berlari meninggalkanku sendiri di tepi pantai itu. Dan tanpa sadar keluarlah satu pernyataan dari mulutku.

“Nayla… jangan kau tanya kenapa aku bisa mencintaimu.. cintamu telah datang di belahan hatiku dan cintamu juga telah mengajakanku cara mencintai-Nya.”, sambutku.

Nayla diam sejenak untuk menoleh ke arahku dengan senyumnya dan ia melanjutkan langkah cepatnya untuk bergegas dari pandanganku.

***

Namun, semua telah musnah semenjak bencana Tsunami yang datang di hari itu. Seakan telah mengahncurkan satu kesempatan cintaku untuk bisa memiliki seseorang seperti Nayla Fatma Pratiwi. Dan kini aku harus merelakan kehilangan untuk menggapai asa cinta ini, Aku tak tahu tentang keberadaan dan kondisi Nayla. Aku tak tahu apakah calon isteri yang didamba itu masih hidup ataupun selamat dari musibah dahsyat ini. Namun,kucoba menyisakan sisa hidup untuk tetap bisa bertahan sejauh enam tahun ini.

Dan malam dingin itu telah memaparkan ingatanku akan masa lalu yang cukup kelam ini. Aku masih tak kuasa untuk menghapus segala memori yang terpapar jelas dalam otakku. Hujan yang deras dan dingin yang menusuk di malam itu menjadi sebuah pengingat paling busuk yang pernah kuingat. Dan tanpa sadar air mata menetes dari ketegaran dan semangatku yang ku tahan selama ini.

“Kok belum pulang, Pak?”

Suara itu membuyarkan halusinasi yang terpapar di malam itu. Kucoba untuk menolehkan asal suara tersebut. Dan kudapati seseorang perempuan berjilbab mencoba menutup pintu toko bukunya. Tak terlihat jelas wajah dan matanya. Karena ia tampak asyik membelakangiku sembari menutup pintu toko yang dari tadi kusinggahi untuk berteduh.

“Iya.. masih nunggu hujan reda.”, jawabku singkat.

“Bapak rumahnya dimana?”

“Ooo… saya di Jalan Kenari 6... Sudah mau tutup tokonya?”

“Iya.. dari tadi sepi. Nggak banyak pengunjung. Mungkin karena dari tadi hujan tak juga reda.”

Sekelebat kupandangi wajah sang pemilik toko tersebut. Seseorang perempuan yang tampak begitu anggun menggambarkan kebijaksanaanya. Tak terlihat jelas memang karena malam itu tampak terlalu gelap. Sementara lampu selasar toko sudah mulai dipadamkan. Dan yang nampak olehku hanyalah sesosok peremuan dengan jilbab birunya. Tak nampak jelas mataku untuk bisa melihat wajah dan rupanya. Hanya terlihat simpul senyum manis yang terpasang dari kedua pipi putihnya. Aku seakan dibuat terpana oleh keindahannya.

Perempuan berjilbab biru ini pun bergegas meninggalkanku di selasar toko. Membawa payungnya untuk bergegas beradu dengan hujan yang mulai tampak mereda.

Aku masih tampak terdiam melihat kepergiannya. Dan seketika pikiranku terasa mulai ganjil dibuatnya. Seakan aku pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dan pikiranku berputar seakan mengenal erat tokoh yang aku lihat dari pandanganku ini.

Kucoba membongkar seluruh memori otakku. Dan mencari satu per satu wajah yang pernah kulihat sebelumnya. Ku aduk dan ku pilah dengan sangat teliti. Dan baru kusadari bahwa nama yang kutemukan adalah

NAYLA FATMA PRATIWI

0 komentar:

Posting Komentar