Sabtu, 13 November 2010

«Senandung Senyum Untukmu Merapi»

"masih ada setitik asa buat kita kembali tersenyum" dedicated to Merapi victims

Sore itu udara tak sesegar biasanya, hawa panas yang terasa pekat akhir-akhir ini memang semakin menjadi. Mungkin saja, semua terjadi karena kondisi Gunung Merapi yang mulai aktif menebar ancamannya. Dan bisa jadi kapanpun, merapi kan kembali mengeluarkan larva pijarnya. Menghembuskan awan panas dan memporak-porandakan seluruh kehidupan yang ada disekitar lerengnya.
            Aku masih tampak duduk diam tak berdaya di tengah kerumunan para pengungsi merapi lain. Sudah seminggu lamanya, aku menjadi saksi musibah merapi yang masih belum berhenti dari status awasnya. Awan panas masih tak henti membawa korban baru, lava dingin juga siap memberi ancaman bagi penduduk di sekitar aliran sungai, dan masih ditambah lagi hujan abu yang siap mengganggu pandangan dan pernafasan.
            Pikiran dan perasaanku semakin bertambah penat. Masih belum bisa ku lupakan saat mencekam yang telah ku lalui tadi malam. Saat-saat terakhir yang telah menghilangkan jejak seluruh keluarga kecilku. Bapak, Ibu dan dua adikku telah menghilang di terjang awan panas. Entah bagaimana nasib mereka, belum terdengar hingga saat ini. Dan aku menjadi salah satu diantara mereka yang masih selamat. Menyisakan cerita pilu yang tak kan mudah untuk kuhapus dari memori otakku.
            Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan bencana yang ku alami ini. Namun, kini semuanya telah kembali membekas luka dalam jiwaku. Meninggalkan goresan tajam dalam ingatan. Dan aku telah menjadi saksi hidup dari semua peristiwa yang ku alami ini.
+++
            Hujan abu tak hentinya surut menemaniku sendiri terpaku di tengah-tengah para pengungsi lain. Masih tampak kecil berguguran semakin mempertebal permukaan jalan yang basah oleh hujan semalam. Menjadi kian memutih oleh campuran abu baru yang berterbangan tak beraturan.
            Para pengungsi tampak sibuk antri mengambil bahan logistik berupa pakaian. Mereka asyik berjejal dan memilah kebutuhan sandang yang mereka perlukan sehari-hari. Sementara itu, para relawan silih berganti lalu lalang membawakan kebutuhan makan ke masing-masing tenda pengungsian.
            Semua pemandangan itu tak menyurutkanku untuk beranjak dari bilik pengungsianku. Aku hanya asyik mengamati cerita-cerita yang silih berganti dari pandanganku ini. Hanya bagaikan seorang penonton setia pertunjukan yang tak sedikitpun memberi komentar pada apa yang ia saksikan.
            Sudah hampir dua hari tubuhku tak terguyur  oleh air mandi. Hanya kubilas saja saat mengambil air wudhu untuk sholat. Baju lusuh sedari kemarin lusa juga masih tetap setia kukenakan melekat di tubuh mungilku. Menutupi perut kosongku yang entah belum terisi sesuap nasipun dari semalam.
            “Min… Makan dulu tuh nasinya. Nanti keburu basi…”, bujuk Edy tetangga pengungsianku.
            “Iyo… Iyo… Nanti kalo laper kan tak makan tho…”, jawabku dengan nada agak sewot.
            “Kalo nggak. Makan roti wae. Ntar daripada kamu sakit. Malah jadi susah.”
            Aku hanya terdiam tak menjawab tawaran Edy. Kepalaku kuteduhkan di antara dua lipatan pahaku. Kucoba untuk menarik nafas panjang dari sela-selanya. Ku pandangi baju oranyeku yang mulai tampak kumal. Bahkan tulisan “SAR DIY” itu pun mulai  tampak kotor tertutupi debu yang melekat.
            Terdengar beberapa orang berbaju sama denganku tampak sibuk ngobrol di depan pandanganku. Mulut mereka tampak sibuk komat-kamit mebicarakan sesuatu. Tampak seperti seorang ahli strategi yang siap menyusun penyerangan. Sesekali mulutnya ditodongkan pada sebuah alat komunikasi genggam yang tak henti berbunyi riuh seperti radio.
+++
            Kubangkitkan tubuhku dari tempat dudukku. Segera ku ikutkan diri untuk bergabung dengan gerombolan relawan berbaju orange ini. Kupasangkan pendengaranku lebih tajam untuk mengikuti topik pembicaraan yang sedang mereka permasalahkan.
“… Besok kita akan mulai penyisiran lagi jam 08.00 atau menunggu konfirmasi dari pusat… setuju…”, kata seseorang bertopi hitam itu.
            “Kalo boleh aku ikut besok.”, sahutku mencoba memotong pembicaraan.
            Semua tampak terdiam oleh suaraku. Seakan ada petir mengelegar dari balik bukit yang lantang mencekam. Suasana terasa menjadi terdiam sekejap.
            “Begini… Mas. Lebih baik Mas disini dulu saja. Lagipula kondisi Mas kan masih belum stabil.”, sahut Edy menenangkan.
            “Tapi… Aku harus mencari keluargaku. Walaupun mereka telah meninggal sekalipun, harus bisa kupastikan jenazahnya.”, jawabku dengan suara lebih lantang.
            “Istighfar… Mas… Istighfar…. Belum tentu juga keluarga Mas sudah meninggal. Semua kemungkinan bisa saja terjadi.” Sahut Edy mencoba menenangkanku.
            Pikiranku terasa bertambah semakin kalut. Aku menjadi seseorang yang tak bisa menahan emosiku. Bahkan jika Edy tak mencoba menenangkanku, mungkin aku bisa berteriak lebih kencang.
            Tiba-tiba hujan deras menguyur ke bumi. Membubarkan kerumunanku yang mulai tampak berjejal oleh orang lain.  Membuyarkan seluruh perhatian untuk berteduh dari hujan yang mulai deras mengguyur pengungsian.
            Kuteduhkan tubuhku di bawah barak pengungsian yang sedikit bocor, atapnya yang berlubang membuat air bisa sedikit meresap jatuh menetesi orang yang ada di bawahnya. Hujan semakin tampak terlihat deras membasahi debu abu yang mulai menebal. Suara gemericiknya bersahutan dengan suara kumadang adzan di awal Ashar ini.
+++
            Sholatku terasa tak sekhusyuk biasanya. Pikiranku masih tertuju pada nasib keluargaku yang menghilang. Hanya bisa ku ikuti gerakan imam dan tanpa terasa telah berakhir dengan salam. Pikiranku melayang tak karuan pada sore hari itu.
            Di akhir sholat itu kupanjatkan sebuah harapan terbesarku pada Allah SWT. Doa terbesar yang menjadi sebuah kebimbangan dalam pikiran dan jiwaku.
            “Ya Allah, jika mungkin Kau berkehendak untuk mengambil hidup keluarga hamba-Mu. Aku ikhlaskan semuanya pada-Mu. Dan ijinkanlah hamba untuk bisa menerima dan merawat jenasahnya.”
            Kuhentikan doaku sembari menghela nafas panjangku.
            “Namun, jika Kau masih memberikan sebuah asa untuk merajut cita masa depan. Ijinkanlah juga hamba untuk bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga. Aku pasrahkan semuanya kepada-Mu. Karna hanya Engkaulah Sang Pemberi Hidup.”
            Kutundukkan pandanganku.di tikar sujudku. Memandangi pikiran kosongku pada harapan terakhirku ini.
            Tiba-tiba seseorang menepuk pundak kananku. Kutolehkan pandanganku kepadanya dan Nampak olehku Edy. Seakan dirinya berharap akan mengatakan sesuatu kepadaku. Memberi sebuah kabar penting yang akan kudengarkan.
+++
Kuikuti langkah Edy yang membawaku ke pojok bilik sholat itu. Kuperhatikan benar-benar raut mukanya yang mulai tampak lelah kecapekan. Kutatap alis matanya yang tampak hitam tebal menghiasi matanya yang tajam. Seakan ingin mengucapkan suatu pertanda untukku.
            “Begini Min… Aku ada kabar untukmu. Mungkin bisa jadi kabar baik dan juga kabar buruk.”, sahut Edy memulai pembicaraan.
            “Apa maksudmu. Buruan katakan. Jangan buat aku penasaran.”, lanjutku.
            Edy mencoba menghela nafas panjang untuk memulai ceritanya seakan ada sesuatu hal besar yang akan keluar dari ucapannya.
            “Ini mengenai keluargamu….”
            “Maksudmu?”
            “Iya… Begini…”
            “Bagaimana keluargaku?”
            “Ibu, dan dua adikmu selamat dari awan panas. Sekarang meraka dirawat di Sardjito. Kondisinya nggak lumayan parah. Tapi jangan kuatir. Kata tim meraka cuma terkilir dan luka ringan. Tapi…”
            “Tapi apa, Ed?”
            “Bapakmu belum dapat diselamatkan. Jenasahnya kini masih di Sardjito untuk diotopsi. Tadi siang tim berhasil menemukan meraka.”
            “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un…”
            Pikiranku seakan menjadi lebih tenang. Berita yang Edy sampaikan seakan telah mengobati rasa penasaranku akan kebimbangan yang kurasakan. Dalam satu sisi harus kuterima kenyataan bahwa Bapakku yelah di panggil oleh-Nya. Namun, disisi lain Allah telah memberikan sedikit semangatku untuk kembali merajut mimpi bersama Ibu dan dua adikku. Ini menjadi sebuah jawaban akan doa yang kupanjatkan. Sebuah doa yang ku luapakan sebagai sebuah untaian senyum untuk tetap menggapai asa.


0 komentar:

Posting Komentar