Minggu, 19 Desember 2010

«Doa untuk Ibu» track three

Antara idul adha. bencana merapi, dan setitik asa


Emak tak hentinya menahan batuk kering di tenggorokannya. Terasa gatal dan menyakitkan untuk bisa berbicara lepas tanpa ada segelintir benda asing yang menghambat di saluran pernafasannya. Sesekali ia hirup udara segar di pagi itu untuk menghilangkan penat di pikiran yang selalu menghantui sedari malam.

Sudah semalaman ini emak tak kunjung tidur dari penjagaannya. Batuk yang menderanya sedari kemarin tak hentinya singgaj dari dirinya yang mulai rapuh. Semalaman ia hanya berkutat dengan rasa demam, pusing dan batuk yang meninmpanya. Nino, si bungsu hanya bisa memijat-mijat kaki ibunya itu. Sementara itu Adin sedari tadi keluar tanpa meninggalkan satu kesan lain.

Suara takbir yang berkumandang kencang di pagi idul adha itu hanyalah menjadi sebuah suara penggembira di tengah-tengah kepanikan ibu dan anak ini. Sesekali mata emak mencoba untuk diam sesaat memanjaakan urat-uratnya untuk sejenak beristirahat. Namun, batuk yang kembali menderanya harus menahannya untuk tetap terjaga.

“Kakak kamu mana, No?”, tanya Emak dengan suara pelan.

“Mungkin sedang ke masjid, Mak. Ngambil jatah daging.”, jawab Nino.

“Buat apa juga harus diambil. Nanti nggak ada yang masak. Kamu tahu sendiri kan Emak lagi nggak enak badan begini,”

“Iya Mak, Nino tahu kug. Tapi kan Emak sendiri yang mengajarkan kita untuk tidak nolak rejeki.”, jawab Nino polos.

“Lagipula daging itu kan memang jadi hak kita.”, lanjutnya.

“Iya bener… bener…”, seru Emak pelan.



“Tapi kamu harus ingat juga. Jika memang dah jadi rejeki kita. Pasti kan ada jalan untuk kita kug Nak.. Rejeki ga bakal kemana… yakinlah kalo ada yang ngatur… Gusti Allah” tambah emak dengan senyum simpulnya.

***

Pagi itu Nino tampak berjejal diantara orang-orang yang mengambil jatah daging kurbannya. Secarik kertas berwarna kuning itu ia genggam erat-erat untuk siap ditukarkan dengan sekantong daging sapi itu. Perjuangannya tak sepadan dengan daging yang akan ia dapati nanti. Ia harus berdesak-desakan diantara puluhan orang. Tua muda, laki bini, besar kecil semua tampak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan satu kantong plastik berisikan daging sapi itu.

Dan kini ia harus berjejal diantara puluhan orang pencari daging kurban itu. Menukarkan secarik kertas girik berwaarna kuning itu hanya untuk sekantong daging sapi yang tak setiap tahun ia nikmati.

Peluh keringat dan panasnya udara di siang itu tak menyurutkan langkahnya untuk mau bergegas dari kerumunan para pencari daging itu. Sesekali ia coba menghirup nafas dalam untuk bisa bertahan dari padatnya orang-orang yang berkumpul tak karuan.

Satu per satu orang bergegas menukarkan girik dengan sekantong daging sapi. Dan sesudahnya, mereka bergegas meninggalkan tempat itu dengan wajah yang berbinar. Seakan telah mendapatkan sesuatu harta karun terbesar yang ia terima di tahun itu.



Dan kini giliran Nino menukarkan secarik kertas kuning yang ia genggam erat di tangan kanannya. Tampak wajah gembira setelah ia dapatkan sekantong daging terbungkus plastik hitam ini. Namun, pikirannya telah sedikit berubah. Segera ia tinggalkan tempat kerumunan penuh orang itu dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.

***

Nino tak segera bergegas menuju gubuk kediamannya. Ia masih melangkahkan semangatnya ke pasar yang tak jauh dari rumahnya itu. Ia tampak menenteng sekantong daging yang ia bawa dengan tangan kanannya. Mencoba melangkahkan kaki di sisa semangat dan pikiran yang mulai kalut.

Segera ia tuju sebuah bikik penuh dengan daging-daging sapi yang bergelantungan di setiap tempat. Ia menuju ke pasar yang menjual daging-daging ternak. Bau amis dan anyir terasa menyengat di hidung. Jalanan yang becek karena hujan semalam telah membuat persimpangan di pasar itu tampak semakin melumpur.

“Bu, bisa minta tolong ndak.”, pinta Nino memelas.

“Minta tolong apaan?”, jawab seorang pedagang.

Nino hanya terdiam. Ia mengangkat sekantong plastik hitam yang ia tenteng dengan kencangnya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seakan menyembunyikan sebuah pertanyaan besar dari dalam hatinya.

“Minta tolong apaan, Nak?”, tanya Ibu itu mengulang.

“Ini… Bu..”, jawab Nino singkat sembari mengangkat kantong plastik.

Segera Ibu penjual daging itu mengambil daging yang Nino sodorkan dan memeriksa isinya. Dan betapa terkejutnya ketika Ibu itu mendapati bahwa isi dari kantong itu adalah sebuah daging sapi.

“Maksud kamu gimana, Nak?”, tanya Ibu itu ga paham.

Nino masih tampak diam tak menjawab. Ia mencoba mengeluarkan sepatah kata yang sedari tertahan dari mulutnya. Namun, terasa sangat susah untuk di keluarkan. Pikirannya menjadi ciut, tetapi ia harus berani mengakuinya.

“Ini semua untuk kesembuhan Emak.”, seru Nino dalam hati.

Semangat inilah yang mulai timbul di dalam dirinya. Seakan ia berniat menjual daging hewan kurban yang ia terima itu untuk dibelikan obat. Semua ia lakukan untuk kesembuhan Emak dari penyakitnya.

“Maaf Bu… Boleh kan saya menjual daging sapi ini?,”, pinta Nino kepada Ibu itu.

“Maksud kamu? Aku membeli daging sapi ini?”, dengan suara kerasnya.

Nino tak menjawab pertanyaan itu. Seakan ia merasa takut menghadapi ibu penjual daging yang semakin galak ini.

“Apa kamu nggak tahu? Aku ini penjual daging dan hari ini saja masih banyak yang nggak laku. Masak aku harus beli daging yang kau bawa.”, omel Ibu itu.

“Sudah… sudah… pergi sana… ganggu saja”, lanjutnya.



Nino semakin takut dibuatnya. Apalagi daging yang ia bawa dilempar begitu saja di hadapannya. Seakan ia ingin menangis kencang mengeluarkan air matanya. Dan rasa itu pun meluap juga. Tanpa sadar air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Dan mengantar kepergiannya dari bilik penjual daging itu dengan sakit yang tersayat-sayat.

***

Nino bergegas pergi dari bilik tempat penjual daging itu. Hatinya remuk redam, seakan-akan harapannya untuk bisa membelikan emaknya obat menjadi semakin pupus. Ia semakin lemas karena udara siang yang semakin memekat itu. Ia masih menyisakan sebuah rasa pedih di pikiran dan jiwanya.

“Ya Allah… Tidakkah ada setitik asa untuk membuat emakku sembuh…”, pinta Nino di dalam hatinya.

Sembari menahan rasa sakitnya, Nino mencoba melangkahkan kakinya ke rumah. Terasa sangat berat karena harapan dan mimipinya untuk membelikan obat emak terasa gagal. Ia mencoba tetap tegar untuk bisa melangkahkan kaki dengan sisa semangatnya.

Dan tiba-tiba seorang lelaki bertubuh gempal mendatangi Nino dengan wajah sangarnya. Badan penuh tato dan kulit coklat kehitaman membuat tampang sangarnya akan semakin menjadi dengan kaca mata yang ia kenakan.

Tubuh Nino semakin terasa dingin dibuatnya. Ia merasa sangat takut dengan sosok sangar yang ia jumpai di depannya itu. Sosok ngeri yang bisa membuatnya ketakutan bukan kepalang.

“Ya Allah siapakah orang sangar yang kutemui di depanku ini.”, batin Nino dalm hati.

Ia merasa takut seakan ada harimau buas yang siap menerkamnya. Apalagi di pasar ini terkenal dengan preman dan berbagai macam orang jahat .

Seketika juga lelaki gempal itu menarik kantong plastic yang Nino bawa. Dengan secepat kilat pun Nino mencoba menghindar. Namun, tangan sang preman terasa lebih cepat menyambar bungkusan itu. Dan semenit kemudian, bungkusan itu telah dibawa oleh lelaki bertubuh gempal ini.

Nino hanya bisa melihat sekantong plastik penuh ini berpindah tangan. Melihat sang preman segera bergegas meninggalkanya tak berdaya di tengah hiruk pikuk pasar itu. Dan seakan seperti terhipnotis, Nino tak meyerukan sesuatu pun disana. Ia hanya memandangi sang preman pergi meninggalkannya sendirian.

Dan kini Nino bagaikan seorang anak yang kehilangan mainan kesayangannya. Diam terpaku di tengah-tengah keramaian pasar di siang itu. Ia hanya bisa mengucurkan air mata kesedihannya.



***

Seseorang Ibu yang terlihat hamil muda terasa terpanggil hatinya untuk mendatangi Nino di pojok pasar itu. Dandanan yang rapi terbalut dengan jibab birunya. Terasa semakin anggun dengan tas kulit yang ia tenteng di tangan kanannya.

“Kamu kenapa, Nak. Kug menangis sendirian disini.”, tanya Ibu muda itu.

Nino tak menjawab pertanyaan Ibu muda ini. Ia masih saja mengalirkan air matanya. Seakan ada satu masalah besar yang sedang menimpanya itu.

Kenapa Nak. Ceritalah padaku!!”,bujuk Ibu muda itu kembali.

Mata Nino memandangi wajah Ibu muda itu. Terasa sangat hangat dan nyaman dibuatnya. Nino segera mengusap air matanya. Ia hela nafas panjangnya. Ia kembali mencoba menata hati untuk mulai menceritakan kejadian yang telah ia alami. Dan satu per satu peristiwa ia ceritakan dengan sangat detail sehingga membuatnya menjadi lebih lega dan tegar,

Ibu muda itu hanya mengangguk mendengar cerita yang Nino sampaikan. Sesekali tangannya yang halus ia usapkan ke wajah Nino yang mulai terlihat pucat.

Seakan mengerti dengan cerita dan masalah yang Nino alami. Ia segera mengeluarkan uang dari dompet kecilnya. Dan sebuah kata pelega telah menyiramkan air mata yang telah lama mengalir di hati Nino.

“Ayo Nak sekarang kita bawa ibumu ke rumah sakit. Semua biaya akan aku tanggung.”, seru Ibu muda itu.

0 komentar:

Posting Komentar