Selasa, 15 Februari 2011

« Langit Suram Kota Metropolitan»



Catatan kecil penderita HIV - AIDS “Say No to Valentine”




Cinta bukan dari pikiran…

Ketika kau mampu menguasai seseorang…

Cinta bukan dari jiwa…

Ketika kau mampu memiliki seseorang…

tapi…

Cinta lahir dari hati…

Ketika kau mau mengerti seseorang…

Tuk mewujudkan senyuman ikhlasnya…



Ich liebe dich, weil Allah



Namaku Ririn, aku adalah seorang gadis perantau dari Semarang. Dan kini aku hanya bisa duduk termenung di sebuah bilik perawatan. Sebuah kamar ukuran 3 x 4 di sebuah lembaga pengobatan penderita HIV. Duduk sendiri dalam sebuah penyesalan panjang yang mungkin tak kan mudah untuk kulupakan.

Hari hariku terasa semakin hancur lebur. Ketika kudapati sebuah pernyataan sang ahli medis. Dengan berani dan santunya ia memvonis hukuman tak beradap ini. Diriku telah dinyatakan sebagai penderita HIV-AIDS. Salah satu penyakit yang belum ditemukan obat dan penyembuhannya.

“hmmm… Mungkin ini yang Allah berikan hikmahnya. Agar manusia benar-benar menjauhi prilaku zina dan sejenisnya.”, batinku dalam hati.

Namun, kini aku kembali menata hatiku yang mulai rapuh. Membuka lembaran baru untuk sekedar memanfaatkan sisa umurku ini. Memulai hari baru dengan satu kepastian positif yang sedang ku ukir. Melihat masa depan yang masih akan Allah berikan kepada hamba-Nya.

***

Semua berawal dari tanggal 14 Februari 2009 lalu, sebuah hari yang kebanyakan orang anggap sebagai hari kasih sayang. Namun, tidak bagiku. Menurutku, hari itu adalah hari para pendusta mulai mengobral janji manisnya. Bagiku, hari itu mulai syeitan berambut melancarkan serangan-serangan jitunya untuk mengajak beramai-ramai menuju neraka. Sebuah hari naas yang telah menyadarkan diriku akan kelalaian dan kebodohanku akan ilmu agama.

Malam itu telah menyajikan sebuah drama menyedihkan yang luar biasa kejamnya. Drama yang ku anggap sebagai sebuah hari akhir untuk mau berkemelut dengan barang-barang haram ini. Namun aku tetap bersyukur, setidaknya aku telah Allah sadarkan melalui jalan takdir ini. Sebuah cambukan keras agar aku mau kembali dalam dekapan Allah.

Pukul 19.00

Beny, seseorang yang telah aku anggap sebagai belahan hatiku menjemputku dari rumah kediamanku. Dengan sejuta dusta dan peonanya, ia datang bak seorang Rahwana menculik Dewi Sinta dari istananya. Dan dengan racun dan hipnotisnya, seakan aku terasa seperti telah terbuai dengan kata-kata manisnya.

Aku dan Beny pergi dengan motor gedhe yang dia kendarai. Maklumlah dia seorang anak orang kaya yang punya harta melimpah. Ratusan duit dan puluhan harta telah ia miliki, tetapi ia tak punya satu hati tuk mengerti akan perasaanku. Dan sungguh malangnya diriku, aku tetap ikut terbuai menikmati harta sesaatnya itu.

***

Motor gedhe itu pun melaju ke sebuah klub malam yang cukup rame dengan music dan lampu berkelap-kelipnya. Seakan bagaikan sebuah konser syeitan dalam menyambut sang raja. Cowok – cewek, tua – muda, saling berjogetan tak karuan dengan tak teratur. Sekan asyik terbuai dengan balutan music hip – hop yang diiringkan oleh seorang DJ terkenal. Mengangguk dan menggelengkan kepala mereka dengan sangat lincah mengikuti iringan music.

Dari luar pun telah nampak tak bersahabatnya lingkungan itu dengan driku. Namun, yang nampak olehku hanyalah sebuah pemandangan busuk di tengah nama kota yang indah ini. Seakan aku harus bisa membiasakan diri untuk menerima kenyataan ini. Mengalirkan darah kesurupanku dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Dan membuatku harus larut dalam sebuah ritual tak beradab ini.

“Sudahlah Sayang… ikutin aja musiknya. Kita akan pesta besar mala mini.”, bujuk Beny dengan gombalannya.

Aku diam tak menjawab tawarannya. Aku hanya bisa mencoba melayangkan senyum manisku ke arah cowok yang aku anggap sebagai Arjuna ini.

Dan dengan secepat kilat aku mulai diajak ikut bergabung berjoget dengan Beny. Mengikuti alunan music dengan hentakan cepaatnya. Bagaikan seseorang yang terhipnotis, aku meras tak sadar berada di kerumunan para lelaki hidung belang ini, Menyatu dalam sebuah lantunan musik yang telah menelanjangiku dalam sebuah ketidakwarasan. Aku hanya melihat seolah Beny adalah sosok malaikat yang akan selalu menjaga dan menjaga diriku.

Namun, semuanya terasa berubah seketika ku tahu watak aslinya. Watak yang selama ini ia tutupi d dari balik kelembutn kata yang selalu mengalun indah dari mulutnya. Seakan ia bagaikan sang iblis yang bersembunyi dalam sebuah raga seorang berilmu tinggi. Sehingga membuatku terasa susah untuk meninggalkan dirinya sekalipun.

***

Pukul 21.00

Aku merasa pusing bukan kepalang. Seakan diriku telah benar- benar terhipnotis ileh rayuan Beny. Aku mulai masuk dalam setengah ketidak warasanku. Dan yang ku ingat sebelumnya hanyalah setengguk minuman yang beny tawarkan kepadaku. Dan mungkin minuman itu pulalah yang telah membuatku sedikit tidak sadar diri.

“Sayang, kamu haus kan. Ini aku ambilkan orange juice. Diminum ya?”, bujuk Beny.

Setengguk demi setengguk mulai kualirkan air jeruk itu masuk ke saluran pencernaanku. Dan tanpa sadar telah sedikit membuat kepalaku sedikit merasa pening. Aku tak sedikitpun menaruh curiga pada sosok yang ku anggap sebagai pangeranku ini. Mungkin juga ada racun dan obat tidur yang telah bercampur dengan manisnya air sari jeruk yang kutelan ini.

Tiba- tiba tubuhku terasa berat. Jantungku berdetak semakin cepat. Pikiranku terasa semakin menjadi kalut, dan pada akhirnya kudapaati diriku merasa semakin asyik mengikuti alunan music yang menyihir ini. Sekan mantra sihir yang eny berikan telah ampuh masuk menggerayangi pikiran dan jiwaku. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri akan apa yang telah kulakukan. Dan yang kuingat terakhir hanyalah sebuah keadaan yag gelap mencekam.

***

Keadaan semakin terasa panik ketika pagi harinya kuterbangun dan melihat kondisi sekelilingku. Tubuhku telah terbujur tak berdaya tanpa busana di kamar tidur sebuah losmen. Dan yang kulihat hanyalah pakaianku yang berserakan di lantai dasar. Tak teratur bercampur dengan beberapa botol minuman keras yang berserakan.

Aku merasa sedih dan bimbang tentang nasib yang ku alami. Sesaat setelah tak kutemukan seseorangpun di kamar itu. Hanya detak jam yang setia menemani diriku yang terbangun di pagi ini. Hatiku semakin terasa remuk setelah kudapati seamplop penuh berisi uang jutaan rupiah di meja. Kucoba menerka bayangan dan pikiran yang kualaimi beberapa jam sebelumnya.

“Ya Allah… Apa yang telah Beny lakukan kepadaku? Apakah dia benar-benar telah memanfaatkanku.”, batinku dalam hati.

Kucoba untuk menggambil telepon genggamku yang berwarna hitam lekam itu. Kuberanikan diri untuk menelepon Beny. Dan yang kudapati hanyalah nada sambung pengalihan dan tidak aktif. Hingga menimbulkan berbagai macam pikiran negative yang menyelimuti otakku.

Pagi itu benar-benar telah mengejutkanku dengan beragam permasalahan yang datang mendekat. Tiba bagaikan sebuah pesawat yang meledak kencang di angakasa lebar tanpa meninggalkan satu jejak yang ditinggalkan. Dan semua hal ini telah kualami setelah satu ritual ajakan syeitan ini. Ritual anak muda yang telah menghancurkan masa depan dan harapanku.

***

Seminggu kemudian aku baru benar – benar menyadari betapa busuk dan pengecutnya seoarang Beny. Dia telah mengambil sesuatu telah menghancurkan masa depanku. Merenggut satu per satu mimpi manisku. Dan menggantinya dengan sebuah racun yang mulai mengalir di sekujur ragaku ini. Semua terasa semakin hancur seketika kutahu bahwa Beny telah menularkan virus-virus HIV-AIDS ke dalam tubuhku. Dokter pribadiku telah memvonis penyakit aneh ini hinggap di dalam raga dan tubuhku. Mengalir melalui aliran darah yang nerhembus di setiap denyut nadiku.

Hidupku terasa semakin pupus tak berdaya setelah keterangan yang kuterima. Aku seakan bagaikan satu jiwa yang tak berati lagi. Terbang tinggi bagaikan kapas tertiup angin. Hingga saatnya lenyap ditelan panasnya bumi.

Dan hal yang paling meyesakkan dadaku adalah seketika kudapati sosok Beny mencoba lari dari kehidupananya. Dia telah menghilang bagaikan seorang pesulap yang mencoba melarikan diri dari kerumunan para penonton. Dan lenyap dari pandangan. Kabar terakhir yang kutahu adalah Beny telah pergi keluar negeri. Seakan ia mencoba melarikan diri dari kehidupanku. Lari dari tanggung jawab yang telah ia tularkan dari penyakitnya.

***

Hari pun kembali berganti hari. Mencoba mengugurkan satu cerita yang pernah kualami. Menggantinya dengan lembaran baru yang kusongsong untuk masa depanku. Dengan satu harapan baru yang akan kualami.

Kini hari - hariku kucoba penuhi sebagai seorang aktivis sebuah LSM bidang kesehatan HIV-AIDS. Seakan aku mulai tersadar dengan kenyataan yang kualami ini. Dalam pikiranku mulai muncul satu kepastian. Kepastian untuk kembali memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih positif. Seakan mungkin aku mencoba untuk melakukannya karena kesalahan yang pernah kualami sebelumnya.

“Mungkin Allah telah menegurku dengan cambukan penyakit yang kuderita ini. Namun, setidaknya kuingin agar orang-orang seperti Beny tak kembali menularkan aksinya. Dan kuharapa agar tak akan kembali terlahir cerita-cerita Ririn lainnya.”, batinku.

Kucoba sejenak menghela nafas panjangku. Mencoba mensyukuri sejenak akan hikmah yang bisa kuambil dari cerita ini.Mensyukuri sisa-sisa anugerah Ilahi yang tetap masih Allah berikan dari jejak langkahku ini. Dan kutengadahan doa di akhir sholatku ini. Sebuah akhir doa yang kucoba untuk tetap tegar dalam satu kepastian yang telah kualami ini.

“Ya Allah maafkanlah hambamu ini… . Jika mungkin semua ini kau berikan agar aku dapat kembali di jalan cinta-Mu. Kucoba untuk tetap ikhlas menerimanya. Berikanlah hamba kekuatan untuk tetap berada di jalan cinta-Mu. Aminn…”, pintaku dalam hati di ujung doa.

0 komentar:

Posting Komentar