Senin, 02 Januari 2012

Film "Hafalan Shalat Delisa" Berkisah Tentang Tsunami Aceh



TANGGAL 22 Desember lalu, ada dua momen yang dilaksanakan berbarengan dengan peringatan tujuh tahun tsunami Aceh, yang pertama adalah Seminar Nasional bertajuk "Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana" dalam rangka refleksi (lesson learned) 7 Tahun Tsunami Aceh dan Arahan Kebijakan Manajemen Bencana di Indonesia yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan sekaligus pemutaran perdana di bioskop film fiksi tentang tsunami Aceh yang berjudul "Hafalan Shalat Delisa." 

Seminar Nasional ini menghadirkan keynote speech Prof. Dr. Sudibyakto (Unsur Pengarah BNPB) dengan materi Peluang dan Tantangan Perguruan Tinggi dalam Manajemen Bencana (Belajar dari Negara Maju dan Indonesia), dan pemateri berikutnya yaitu yaitu Ir. Budi Atmadi Adiputro (Sekjen PMI Pusat) dengan materi Lesson Learned dari Pengalaman Menangani Bencana Tsunami Aceh, Dr. Danang Sri Hadmoko, M. Sc (UGM) dengan materi Risiko Multi Bencana di Indonesia, Prof. Sarwadi, MSCE, Ph. D (Guru Besar UII/Pengarah BNPB) dengan materi Lesson Learned Hasil Monev Penanggulangan Bencana di Indonesia. Acara seminar ini juga sekaligus dengan Pembentukan Student Association for Disaster Management (Asosiasi Mahasiswa Peduli Bencana) dari beberapa universitas di Indonesia. 

Seminar ini dihadiri hampir 300-an peserta yang memenuhi ruang seminar Lantai 5 Gedung Lengkung Pascasarjana UGM. Dari beberapa pemateri, saya mencatat beberapa poin penting dari pemaparan Pak Budi (Sekjen PMI Pusat) yang di awal presentasi memutar film dokumenter bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi. Pak Budi pernah menjabat sebagai Kepala Staf Darurat Operasi yang sehari-hari memimpin operasi tsunami di Aceh selama hampir 3 bulan pertama bencana. Menurut Pak Budi ada tiga kata kunci yag menjadi konsep dalam manajemen bencana yaitu cepat, tanggap, dan terkoordinir. Dan juga yang penting yaitu masalah kemanusiaan harus diutamakan di atas segala kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya. 

Film "Hafalan Shalat Delisa"Film Hafalan Surat Delisa yang diputar perdana serentak di seluruh jaringan bioskop pada Kamis (22/12/2011) diangkat dari novel laris berjudul sama karya Tere Liye yang disutradarai Sony Gaokasak dan diproduseri Chand Parwez Servia (Starvision). Pengambilan gambar dilakukan di Ujung Genteng, Sukabumi Selatan. Penyanyi Aceh, Rafli juga ikut terlibat dalam film ini dan menyanyikan musik pengiring film. 

Dikisahkan bahwa Delisa (Chantiq Schagerl) sedang mengikuti ujian praktik hafalan shalat di sekolahnya saat tsunami menghantam kawasan Lhoknga, Aceh Besar. Saat itu, Delisa mengingat kata ustad Rahman (Fathir Muchtar) untuk khusyuk atau fokus saat beribadah, sehingga Delisa tidak mendengar teriakan Ummi dan orang tua lainnya di sekolah saat itu untuk menyelamatkan diri dari tsunami dan meninggalkan ujian praktik hafalan shalat. 

Delisa hanyut dan akhirnya ditemukan oleh relawan dari AS, Smith (Mike Lewis). Kaki kiri Delisa luka dan terpaksa harus diamputasi. Delisa tinggal sebatang kara hingga ayahnya, Abi Usman (Reza Rahardian) yang selamat karena bekerja di kapal menemuinya di rumah sakit. Ayahnya selamat sedangkan Ummi (Nirina Zubir) dan ketiga kakak Delisa, Fatimah (Ghina Salsabila), Aisyah (Reska Tania Apriadi), dan Zahra (Riska Tania Apria) serta teman sepermainannya banyak yang menjadi korban tsunami. Walaupun kakinya tinggal satu, Delisa tetap mampu bertahan dan memberi semangat kepada teman-teman dan orang-orang yang disayangi untuk tidak mudah putus asa. 

Saat saya menonton, banyak keluarga yang membawa anaknya dan pemuda-pemudi muslim yang jarang ke bioskop mengkhususkan diri untuk menonton film ini karena kisah tsunami Aceh dan kisah agama yang diangkat. Tapi film ini menurut saya minus riset tentang kondisi di Aceh saat tsunami dan konteks budaya. 

Tokoh Fatimah di awal adegan melafalkan meunasah dengan munasah, dan perawat lokal saat di rumah sakit tidak berpakaian sesuai kaidah syariat, dan terjadi kerancuan saat ada dua relawan asing yaitu Smith dan Sophie mengajak ngobrol Delisa saat di rumah sakit dengan bahasa asing tanpa disertai penerjemah, sehingga Delisa tidak memahami apa yang mereka katakan. Film ini juga sarat dengan teknologi CGI (computer graphic integrated) saat memvisualisasikan tsunami, kapal induk, helikopter, areal tsunami, dan efek surga. 

Walaupun berasal dari novel fiksi karya Tere Liye, tapi saya dan keluarga saya sudah pernah mendengar nama Delisa pada saat masa penyembuhan tsunami. Ayah saya, Mukhlis A. Hamid saat menjadi relawan di rumah sakit lapangan Danish Emergency Mobile Hospital (DEMH) di Fakultas Kedokteran Unsyiah menyebut nama Delisa Fitri yang saat tsunami berumur 7 tahun yang terpaksa harus diamputasi kakinya di rumah sakit lapangan itu pada Januari 2005. Berita tentang Delisa yang diamputasi pernah dimuat di koran Denmark. Dan hari ini keberadaannya sudah tidak diketahui lagi setelah keluar dari rumah sakit. 

Banyak penikmat film di Aceh yang mengharapkan agar film "Hafalan Shalat Delisa" dapat diputar di Ace
h pada saat peringatan tujuh tahun tsunami ini. Sayangnya tsunami juga menggulung satu-satunya bioskop di Aceh saat itu sehingga orang Aceh saat ini jika ingin menonton film minimal harus ke Medan.  ***

source : 
http://aceh.tribunnews.com/2011/12/28/film-hafalan-surat-delisa-berkisah-tentang-tsunami-aceh

0 komentar:

Posting Komentar