Minggu, 26 Desember 2010

«Penantian Cinta dari Serambi Mekah»

commemoration of 6th year Tsumani in Acheh and North Sumatra

Hujan di sore itu tak kunjung reda juga. Padahal aku telah lama berdiam diri tak berdaya pindah dari depan toko buku itu. Badanku yang letih bercampur dengan bau keringat yang sedari tadi melekat di seragam putihku menjadi semakin apek saja. Masih ditambah lagi dengan percikan air hujan yang sedari tadi mengucurkan air derasnya. Menambah rasa kumal di badanku terasa semakin lengket dan bau.

Sudah sejam lamanya aku hanya diam bertaduh di selasar toko buku itu tanpa bisa melakukan apapun. Hanya bisa kupandangi langit yang sedari tadi mengucurkan air derasnya. Semakin cepat semakin menambah debit air yang menggenang di bawah kakiku. Dan lama kelamaan membasahi mata kakiku yang tak tertutup oleh sepatu. Sesekali kugaruk kuat lutut dan pahaku yang mulai terasa kesemutan. Terasa semakin menjalar hingga mematikan rasa seluruh kakiku.

Kucoba untuk merebahkan pantatku di selasar lantai toko itu. Terasa tak nyaman oleh hujan dan air yang mengucur dengan derasnya. Membasahi seragam yang kukenakan. Aku hanya bisa menutupinya dengan jaket kulit berwarna hitam. Mencoba menghangatkan tubuh kecilku yang mulai mengiggil kedinginan.

Aku hanya bisa memandangi langit yang menurunkan air hujan. Terlihat teratur dengan curah yang indah. Bagaikan sebuah rejeki yang adil ternbagi di setiap penjuru tempat. Tanpa ada satupun yang tak merasakan kenikmatannya.

“Subhanallah”, ucapku lirih dalam hati.

***

Jika kutatap langit yang menurunkan air hujan. Ada sebuah cerita lain yang kuingat melekat erat dalam cerita piluku. Cerita yang telah menghapuskan harapan dan semangat cintaku. Cerita yang telah memisahkan aku dengan calon istriku, Nayla Fatma Pratiwi. Seseorang yang benar-benar kuyakini akan menjadi ibu dari anak-anakku. Seseorang tokoh yang telah menghadirkan satu cerita indah tersendiri dengannya.

Namun, semuanya telah pupus menjadi satu kepahitan cerita lain. Sebuah rantai yang mulai putus kehilangan salah satu mata rantainya. Dan kini mata rantai itu telah hilang entah kemana. Menyisakan luka membekas dalam hati dan jiwaku.

Enam tahun yang lalu. Tepatnya 26 Desember 2004 semua cerita itu berawal. Cerita yang telah menghancurkan semangatku seketika melihat kondisi keluarga dan lingkunganku. Semua terasa telah habis dan musnah.

Nayla Fatma Pratiwi adalah gadis aceh yang kucintai. Sudah hampir empat tahun sebelumnya kami mengenal. Dia adalah teman dekatku sewaktu kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Aceh. Di kawasan Ulee Lheue inilah kami saling mengenal. Seakan telah menjadi sebuah takdir. Allah menghadirkan satu cinta terindah yang pernah kurasakan ini.

Semua berawal dari sebuah lomba menulis essay yang di selenggarakan oleh Depdiknas. Aku dan dia harus bersaing untuk merebutkan juara dalam lomba essay ini. Hingga akhirnya kami masuk ke final untuk memaparkan segala macam tulisan yang telah kami buat. Namun, rejeki lebih bertaruh kepadanya. Dengan bekal menulis dan daya kreatifitasnya, ia mampu menggagalkan rencanaku untuk memenangkan penghargaan ini. Dan aku harus puas untuk menjadi juara dua. Namun mulai dari sinilah aku mengenal sosok Nayla. Seorang gadis berjilbab keturunan Aceh yang sempat membuatku jatuh hati kepadanya.

Ada satu hal yang membuatku kagum melihat sosoknya. Ia adalah seseorang perempuan yang tegar dan semangat. Semuanya bisa kulihat pertama kali saat menjumpainya di final lomba essay Depdiknas. Dengan ketenangannya, ia mampu menjawab pertanyaan para pendengar. Dan bahkan kata-kata yang ia lontarkan mampu membius para juri untuk diam tak berkutik. Seakan mereka sedang menyaksikan sebuah opera drama hebat dari sebuah kursi empuk.

Dua tahun berlalu. Mulailah muncul benih-benih cinta yang kulalui. Hadir bermekaran dari lubuk hati terdalamku. Dan hinggap ke sumsum tulangku untuk mampu menghadirkan satu cerita cinta tersendiri dalam sepenggal kisah kehidupanku ini. Seakan aku telah menjadi seorang pangeran yang menemukan bidadari tercantik di lubuk hatinya.

***

26 Desember 2004
Masih teringat benar saat terakhir itu. Saat kucoba memberanikan diri untuk mengatakan sebuah pengakuan yang telah lama mengekangku ini. Sebuah perkataan yang mungkin hanya akan menjadi sebuah perasaan Maluku untuk mampu diungkapkan. Namun inilah kenyataan yang telah ku ungkapkan kepada sosok ciptaan Allah cantik bernama Nayla Fatma Pratiwi.

“Telah lama ku pendam perasaan yang selalu mengekangku ini.”, ucapku pelan.

Nayla hanya diam tak menjawab perkataanku. Seakan ia hanya menjadi pendengar setia dari setiap perkataan yang muncul dari mulutku. Dan aku laksana sebuah radio yang siap menghadirkan sebuah cerita-cerita cintanya.

Kucoba menghela nafas panjangku. Seakan bersiap menata setiap kata-kata yang siap kuluapkan. Satu per satu perkataanku mengalir menjadi sebuah puisi cinta yang begitu melekat di telinga.

Telah lama ku menanti seseorang yang menghantui pikiranku ini..

Hadir bagaikan seseorang yang membawa cahaya obornya…

Menyalakan satu cahaya lilinku yang telah lama redup…

Dan kini…

Aku ingin cahaya ini kembali semakin terang…

Dan suatu saat nanti kan mampu menyala lebih terang dengan satu cinta…

Ijinkanlah aku menyatakn satu peryataan terindah ini…

Sebuah pernyataan untuk mengatakan bahwa sebenarnya…

Mulutku diam tak meneruskan kata-kata yang kuungkapkan. Seakan aku baru menyadari satu kebodohan yang telah kulakukan. Aku bagaikan seorang yang membuka aibnya untuk mengatakan kesalahannya pada seorang puteri raja.

Dan dengan lirih kucoba mengucapkan perkataanku ini “Aku mencintaimu…”

Nayla hanya tersenyum melihat tingkah lakuku. Dia hanya menampakkan senyum simpul manisnya. Dan dengan tenang satu kalimat ia ucapkan kepadaku.

“Jika kau ingin menjadikan aku bidadari dunia dan akheratmu. Datanglah besok untuk mengkhitbahku. Temui orang tuaku untuk membicarakn semuanya. Jika Allah telah menakdirkan kita untuk bersama. Semua akan dipermudahkan.”, ucapnya sambil melangkah cepat meninggalkanku.

Aku hanya diam tak berkutik mendengar jawaban yang Nayla berikan. Ia telah memberikan kesempatan kepadaku. Kulihat Nayla berlari meninggalkanku sendiri di tepi pantai itu. Dan tanpa sadar keluarlah satu pernyataan dari mulutku.

“Nayla… jangan kau tanya kenapa aku bisa mencintaimu.. cintamu telah datang di belahan hatiku dan cintamu juga telah mengajakanku cara mencintai-Nya.”, sambutku.

Nayla diam sejenak untuk menoleh ke arahku dengan senyumnya dan ia melanjutkan langkah cepatnya untuk bergegas dari pandanganku.

***

Namun, semua telah musnah semenjak bencana Tsunami yang datang di hari itu. Seakan telah mengahncurkan satu kesempatan cintaku untuk bisa memiliki seseorang seperti Nayla Fatma Pratiwi. Dan kini aku harus merelakan kehilangan untuk menggapai asa cinta ini, Aku tak tahu tentang keberadaan dan kondisi Nayla. Aku tak tahu apakah calon isteri yang didamba itu masih hidup ataupun selamat dari musibah dahsyat ini. Namun,kucoba menyisakan sisa hidup untuk tetap bisa bertahan sejauh enam tahun ini.

Dan malam dingin itu telah memaparkan ingatanku akan masa lalu yang cukup kelam ini. Aku masih tak kuasa untuk menghapus segala memori yang terpapar jelas dalam otakku. Hujan yang deras dan dingin yang menusuk di malam itu menjadi sebuah pengingat paling busuk yang pernah kuingat. Dan tanpa sadar air mata menetes dari ketegaran dan semangatku yang ku tahan selama ini.

“Kok belum pulang, Pak?”

Suara itu membuyarkan halusinasi yang terpapar di malam itu. Kucoba untuk menolehkan asal suara tersebut. Dan kudapati seseorang perempuan berjilbab mencoba menutup pintu toko bukunya. Tak terlihat jelas wajah dan matanya. Karena ia tampak asyik membelakangiku sembari menutup pintu toko yang dari tadi kusinggahi untuk berteduh.

“Iya.. masih nunggu hujan reda.”, jawabku singkat.

“Bapak rumahnya dimana?”

“Ooo… saya di Jalan Kenari 6... Sudah mau tutup tokonya?”

“Iya.. dari tadi sepi. Nggak banyak pengunjung. Mungkin karena dari tadi hujan tak juga reda.”

Sekelebat kupandangi wajah sang pemilik toko tersebut. Seseorang perempuan yang tampak begitu anggun menggambarkan kebijaksanaanya. Tak terlihat jelas memang karena malam itu tampak terlalu gelap. Sementara lampu selasar toko sudah mulai dipadamkan. Dan yang nampak olehku hanyalah sesosok peremuan dengan jilbab birunya. Tak nampak jelas mataku untuk bisa melihat wajah dan rupanya. Hanya terlihat simpul senyum manis yang terpasang dari kedua pipi putihnya. Aku seakan dibuat terpana oleh keindahannya.

Perempuan berjilbab biru ini pun bergegas meninggalkanku di selasar toko. Membawa payungnya untuk bergegas beradu dengan hujan yang mulai tampak mereda.

Aku masih tampak terdiam melihat kepergiannya. Dan seketika pikiranku terasa mulai ganjil dibuatnya. Seakan aku pernah merasakan hal ini sebelumnya. Dan pikiranku berputar seakan mengenal erat tokoh yang aku lihat dari pandanganku ini.

Kucoba membongkar seluruh memori otakku. Dan mencari satu per satu wajah yang pernah kulihat sebelumnya. Ku aduk dan ku pilah dengan sangat teliti. Dan baru kusadari bahwa nama yang kutemukan adalah

NAYLA FATMA PRATIWI

Senin, 20 Desember 2010

«Puisi Rindu Untukmu Ibu»


Dedicated to My Mom (02 Desember 1958 – 18 September 2007)

Zahra bingung bukan kepalang. Gadis kelas IV SD itu masih tampak diam tak bergerak menuliskan sepatah katapun. Ia masih asyik hanya memegangi bolpoint biru yang ia genggam di tangan kanannya. Sementara matanya memandangi seluruh ruangan kamar yang berukuran 3 x 4 ini. Dan pikirannya melayang berkelana mengarungi bintang-gemintang yang indah di malam itu.

Dua jam sudah, dia hanya duduk tak mengerjakan pekerjaan rumahnya. Tak seperti biasanya, ia melakukan hal yang sebodoh ini. Padahal biasanya ia adalah gadis kecil yang selalu rajin dan bersemangat dalam mengerjakan tugas sekolahnya. Bahkan teman-temannya silih berganti datang untuk memintanya memandu dalam PR yang di berikan.

Namun, semuanya terasa berbeda pada PR kali ini, tak ada kegembiraan yang terpancar di wajahnya. Bahkan senyum kecil pun tak menghiasi bibirnya yang mungil. Zahra masih saja duduk terdiam di meja kecilnya. Tak satupun kata menghiasi buku tugasnya. Padahal PR itu pun telah diumumkan sekitar seminggu yang lalu. Tetapi Ia hanya asyik memandangi bintang di langit malam itu yang tampak sangat indah memancarkan keagungan-Nya.

Bukan menjadi sebuah persoalan bagi gadis SD yang selalu rajin menjadi juara kelas ini untuk bisa mengerjakan PR-nya. Dan juga bukan sebuah kesulitan bagi bocah manis ini untuk berkelana memanjakan kreatifitasnya tertuangkan menjadi sebuah tulisan-tulisan indah. Namun, ada hal lain yang membuat gadis mungil itu diam tak berkutik.

***

Seminggu yang lalu, Bu Fitri, guru Bahasa Indonesia memberikan tugas kepada Zahra dan teman-temannya. Sebuah tugas yang telah mematikan daya kreatifitas Zahra selama ini.

“Anak – anak… Tahu kan kalo tanggal 22 Desember itu hari apa?”, tanya Bu Fitri.

“Hari Ibu…”, seru mereka kompak.

“Kalian saying Ibu nggak?”

“Sayang, Bu.”

“Bagus… Nah untuk itu. Ibu akan memberikan tugas untuk kalian. Coba keluarkan buku tugas kalian.” 


Dengan secepat kilat, anak – anak kelas IV itu pun segera mengeluarkan buku tugas meraka. Dan bersiap menuliskan apa yang akan Bu Fitri sampaikan.

“Nah tugasnya adalah… Hmmm…”

Bu Fitri menghela nafasnya sebentar. Ia membolak-balik halaman buku yang ia bawa. Seakan sedang mencari sesuatu yang telah hilang.

“Yak.. Tugasnya kalian membuat tulisan bebas yang kalian tujukan kepada Ibu kalian.. Bisa ucapan sayang, terima kasih, cinta, dll.”

Suasana kelas menjadi hening sejenak. Para siswa tampak begitu asyik mendengarkan penjelasan ibu guru berjilbab ini. Seakan mereka sedang terhipnotis oleh suara dan kelmbutannya.

“Nah… Tugas ini dikumpulkan minggu depan tanggal 22 Desember. Ibu akan mengambil nilainya sebagai tugas semester ini. Mengerti kan?”, seru Bu Fitri menambahkan.

***

Tugas itulah yang sempat membuat hati Zahra tercabik – cabik hatinya. Kali ini ia merasa tak mampu untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Bukan karena ia malas ataupun bodoh, melainkan karena bingung. Ia tak punya inspirasi untuk menulis.

Sejak kecil Zahra telah ditinggal ibunya. Allah telah memanggil ibunya semenjak ia bernafas di bumi ini. Ibunya harus meninggal seketika saat Zahra mulai merasakan nikmat dan kesegaran nafas di bumi ini. Dan sejak kecil pulalah ia tak lagi merasakan kasih saying ibu. Ia tak lagi bisa merasakan belai mesra seorang ibu. Bahkan ia pun tak bisa memandangi wajah manis dan pelukan sayang seorang ibu. Ia hanya bisa mendengar cerita-cerita yang selalu ia dengar dari ayahnya. Cerita yang mengenalkan dan mendekatkannya dengan sosok seorang ibu.

Dan inilah masalah terbesar yang harus Zahra hadapi. Ia tak bisa membayangkan akan kasih sayang seorang ibu. Ia tak mampu melihat dan merasakan tatapan kelembutannya. Ia hanya merasa seperti seseorang yang tak lagi sempurna.


Pikirannya terus berkelana dari satu bintang ke bintang lainnya. Seakan ia ingin memutar waktu tuk melihat perjuangan dan jerih payah seorang ibu. Dan segera ia tuangkan satu per satu tulisan di atas selembar kertas tugasnya. Menjadi sebuah untaian kalimat yang akan terasa indah untuk didengarkan. Ia coba goreskan tinta hitamnya tuk menghiasi lembaran putih itu. Tak terasa tiba – tiba air mata jatuh membasahi pipi putuhnya. Mengalir deras dari kelopak mata dan jatuh menetes di atas meja belajarnya.

***

Suasana kelas tampak semakin hening. Bu Fitri memanggil satu per satu nama siswa untuk maju ke depan kelas. Ia ingin murid – muridnya mempresentasikan hasil karya yang telah mereka buat. Tugas seminggu yang akan menjadi sebuah moment spesial untuk menghormati dan menghargai perjuangan seorang ibu.

Zahra Kumala Khairunnisa…

Nama itu terucap langsung dari mulut Bu Fitri. Dan mengharuskan langkah kecil Zahra untuk maju ke depan kelas. Parasaan bingung dan takut menyeruap seketika di hatinya. Namun, dengan langkah pasti ia coba untuk tegar menguasai suasana

“BIsmillah…”, ucapnya lirih dalam hati.

Suasana kelas semakin terasa hening. Zahra tampak siap sedia berdiri di depan kelas itu. Mempresentasikan hasil dari tugas yang telah ia kerjakan. Sebuah tugas yang sempat mebuatnya mati kreatifitas dan bakat menulisnya.

Ia mencoba menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menata hati untuk siap melontarkan suara mungilnya.

“Silakan Zahra. Kamu presentasikan apa yang telah kamu tulis di buku itu.”, seru Bi Fitri.

Zahra hanya mengangguk tanda setuju. Tiba – tiba sebuah kata seketika keluar dari mulut munginya. Dan menyusul kata demi kata lainnya untuk terangkai menjadi sebuah kalimat yang indah. Mengalun merdu menjadi sebuah lantunan harmoni yang padu.



Kala ku pejamkan mata 

Ku lihat wajahmu yang berseri 

Senyummu yang membuat hatiku merasa teduh dibuatnya 

Namun.. 

Saat ku buka kembali mataku 

Ku tahu ini semua hanyalah mimpi dan harapanku saja 

Andai aku mampu 

Ingin rasanya kucoba memandangi tatapanmu yang indah 

Tapi ku tahu ini semua hanyalah harap dan pintaku saja 

Ibu… 

Tak pernah sedikitpun terbayang akan wajahmu 

Hanya cerita orang yang kudapat darimu 

Namun yang kutahu 

Kau begitu berharga bagiku 

Kau telah mendatangkan cinta bagiku. 

Dan kini 

Semua hanya kan menjadi mimpi dan pintaku saja 

Aku hanya bisa berdoa 

Semoga kau bahagia disisi-Nya 

Semoga kau tersenyum melihatku bahagia 

Karna hanya itu yang mampu ku berikan 

Sebagai sebuah rindu pelipur lara 

Tuk berucap 

Aku rindu padamu 

Ibu…


Minggu, 19 Desember 2010

«Doa untuk Ibu» track three

Antara idul adha. bencana merapi, dan setitik asa


Emak tak hentinya menahan batuk kering di tenggorokannya. Terasa gatal dan menyakitkan untuk bisa berbicara lepas tanpa ada segelintir benda asing yang menghambat di saluran pernafasannya. Sesekali ia hirup udara segar di pagi itu untuk menghilangkan penat di pikiran yang selalu menghantui sedari malam.

Sudah semalaman ini emak tak kunjung tidur dari penjagaannya. Batuk yang menderanya sedari kemarin tak hentinya singgaj dari dirinya yang mulai rapuh. Semalaman ia hanya berkutat dengan rasa demam, pusing dan batuk yang meninmpanya. Nino, si bungsu hanya bisa memijat-mijat kaki ibunya itu. Sementara itu Adin sedari tadi keluar tanpa meninggalkan satu kesan lain.

Suara takbir yang berkumandang kencang di pagi idul adha itu hanyalah menjadi sebuah suara penggembira di tengah-tengah kepanikan ibu dan anak ini. Sesekali mata emak mencoba untuk diam sesaat memanjaakan urat-uratnya untuk sejenak beristirahat. Namun, batuk yang kembali menderanya harus menahannya untuk tetap terjaga.

“Kakak kamu mana, No?”, tanya Emak dengan suara pelan.

“Mungkin sedang ke masjid, Mak. Ngambil jatah daging.”, jawab Nino.

“Buat apa juga harus diambil. Nanti nggak ada yang masak. Kamu tahu sendiri kan Emak lagi nggak enak badan begini,”

“Iya Mak, Nino tahu kug. Tapi kan Emak sendiri yang mengajarkan kita untuk tidak nolak rejeki.”, jawab Nino polos.

“Lagipula daging itu kan memang jadi hak kita.”, lanjutnya.

“Iya bener… bener…”, seru Emak pelan.



“Tapi kamu harus ingat juga. Jika memang dah jadi rejeki kita. Pasti kan ada jalan untuk kita kug Nak.. Rejeki ga bakal kemana… yakinlah kalo ada yang ngatur… Gusti Allah” tambah emak dengan senyum simpulnya.

***

Pagi itu Nino tampak berjejal diantara orang-orang yang mengambil jatah daging kurbannya. Secarik kertas berwarna kuning itu ia genggam erat-erat untuk siap ditukarkan dengan sekantong daging sapi itu. Perjuangannya tak sepadan dengan daging yang akan ia dapati nanti. Ia harus berdesak-desakan diantara puluhan orang. Tua muda, laki bini, besar kecil semua tampak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan satu kantong plastik berisikan daging sapi itu.

Dan kini ia harus berjejal diantara puluhan orang pencari daging kurban itu. Menukarkan secarik kertas girik berwaarna kuning itu hanya untuk sekantong daging sapi yang tak setiap tahun ia nikmati.

Peluh keringat dan panasnya udara di siang itu tak menyurutkan langkahnya untuk mau bergegas dari kerumunan para pencari daging itu. Sesekali ia coba menghirup nafas dalam untuk bisa bertahan dari padatnya orang-orang yang berkumpul tak karuan.

Satu per satu orang bergegas menukarkan girik dengan sekantong daging sapi. Dan sesudahnya, mereka bergegas meninggalkan tempat itu dengan wajah yang berbinar. Seakan telah mendapatkan sesuatu harta karun terbesar yang ia terima di tahun itu.



Dan kini giliran Nino menukarkan secarik kertas kuning yang ia genggam erat di tangan kanannya. Tampak wajah gembira setelah ia dapatkan sekantong daging terbungkus plastik hitam ini. Namun, pikirannya telah sedikit berubah. Segera ia tinggalkan tempat kerumunan penuh orang itu dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.

***

Nino tak segera bergegas menuju gubuk kediamannya. Ia masih melangkahkan semangatnya ke pasar yang tak jauh dari rumahnya itu. Ia tampak menenteng sekantong daging yang ia bawa dengan tangan kanannya. Mencoba melangkahkan kaki di sisa semangat dan pikiran yang mulai kalut.

Segera ia tuju sebuah bikik penuh dengan daging-daging sapi yang bergelantungan di setiap tempat. Ia menuju ke pasar yang menjual daging-daging ternak. Bau amis dan anyir terasa menyengat di hidung. Jalanan yang becek karena hujan semalam telah membuat persimpangan di pasar itu tampak semakin melumpur.

“Bu, bisa minta tolong ndak.”, pinta Nino memelas.

“Minta tolong apaan?”, jawab seorang pedagang.

Nino hanya terdiam. Ia mengangkat sekantong plastik hitam yang ia tenteng dengan kencangnya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seakan menyembunyikan sebuah pertanyaan besar dari dalam hatinya.

“Minta tolong apaan, Nak?”, tanya Ibu itu mengulang.

“Ini… Bu..”, jawab Nino singkat sembari mengangkat kantong plastik.

Segera Ibu penjual daging itu mengambil daging yang Nino sodorkan dan memeriksa isinya. Dan betapa terkejutnya ketika Ibu itu mendapati bahwa isi dari kantong itu adalah sebuah daging sapi.

“Maksud kamu gimana, Nak?”, tanya Ibu itu ga paham.

Nino masih tampak diam tak menjawab. Ia mencoba mengeluarkan sepatah kata yang sedari tertahan dari mulutnya. Namun, terasa sangat susah untuk di keluarkan. Pikirannya menjadi ciut, tetapi ia harus berani mengakuinya.

“Ini semua untuk kesembuhan Emak.”, seru Nino dalam hati.

Semangat inilah yang mulai timbul di dalam dirinya. Seakan ia berniat menjual daging hewan kurban yang ia terima itu untuk dibelikan obat. Semua ia lakukan untuk kesembuhan Emak dari penyakitnya.

“Maaf Bu… Boleh kan saya menjual daging sapi ini?,”, pinta Nino kepada Ibu itu.

“Maksud kamu? Aku membeli daging sapi ini?”, dengan suara kerasnya.

Nino tak menjawab pertanyaan itu. Seakan ia merasa takut menghadapi ibu penjual daging yang semakin galak ini.

“Apa kamu nggak tahu? Aku ini penjual daging dan hari ini saja masih banyak yang nggak laku. Masak aku harus beli daging yang kau bawa.”, omel Ibu itu.

“Sudah… sudah… pergi sana… ganggu saja”, lanjutnya.



Nino semakin takut dibuatnya. Apalagi daging yang ia bawa dilempar begitu saja di hadapannya. Seakan ia ingin menangis kencang mengeluarkan air matanya. Dan rasa itu pun meluap juga. Tanpa sadar air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Dan mengantar kepergiannya dari bilik penjual daging itu dengan sakit yang tersayat-sayat.

***

Nino bergegas pergi dari bilik tempat penjual daging itu. Hatinya remuk redam, seakan-akan harapannya untuk bisa membelikan emaknya obat menjadi semakin pupus. Ia semakin lemas karena udara siang yang semakin memekat itu. Ia masih menyisakan sebuah rasa pedih di pikiran dan jiwanya.

“Ya Allah… Tidakkah ada setitik asa untuk membuat emakku sembuh…”, pinta Nino di dalam hatinya.

Sembari menahan rasa sakitnya, Nino mencoba melangkahkan kakinya ke rumah. Terasa sangat berat karena harapan dan mimipinya untuk membelikan obat emak terasa gagal. Ia mencoba tetap tegar untuk bisa melangkahkan kaki dengan sisa semangatnya.

Dan tiba-tiba seorang lelaki bertubuh gempal mendatangi Nino dengan wajah sangarnya. Badan penuh tato dan kulit coklat kehitaman membuat tampang sangarnya akan semakin menjadi dengan kaca mata yang ia kenakan.

Tubuh Nino semakin terasa dingin dibuatnya. Ia merasa sangat takut dengan sosok sangar yang ia jumpai di depannya itu. Sosok ngeri yang bisa membuatnya ketakutan bukan kepalang.

“Ya Allah siapakah orang sangar yang kutemui di depanku ini.”, batin Nino dalm hati.

Ia merasa takut seakan ada harimau buas yang siap menerkamnya. Apalagi di pasar ini terkenal dengan preman dan berbagai macam orang jahat .

Seketika juga lelaki gempal itu menarik kantong plastic yang Nino bawa. Dengan secepat kilat pun Nino mencoba menghindar. Namun, tangan sang preman terasa lebih cepat menyambar bungkusan itu. Dan semenit kemudian, bungkusan itu telah dibawa oleh lelaki bertubuh gempal ini.

Nino hanya bisa melihat sekantong plastik penuh ini berpindah tangan. Melihat sang preman segera bergegas meninggalkanya tak berdaya di tengah hiruk pikuk pasar itu. Dan seakan seperti terhipnotis, Nino tak meyerukan sesuatu pun disana. Ia hanya memandangi sang preman pergi meninggalkannya sendirian.

Dan kini Nino bagaikan seorang anak yang kehilangan mainan kesayangannya. Diam terpaku di tengah-tengah keramaian pasar di siang itu. Ia hanya bisa mengucurkan air mata kesedihannya.



***

Seseorang Ibu yang terlihat hamil muda terasa terpanggil hatinya untuk mendatangi Nino di pojok pasar itu. Dandanan yang rapi terbalut dengan jibab birunya. Terasa semakin anggun dengan tas kulit yang ia tenteng di tangan kanannya.

“Kamu kenapa, Nak. Kug menangis sendirian disini.”, tanya Ibu muda itu.

Nino tak menjawab pertanyaan Ibu muda ini. Ia masih saja mengalirkan air matanya. Seakan ada satu masalah besar yang sedang menimpanya itu.

Kenapa Nak. Ceritalah padaku!!”,bujuk Ibu muda itu kembali.

Mata Nino memandangi wajah Ibu muda itu. Terasa sangat hangat dan nyaman dibuatnya. Nino segera mengusap air matanya. Ia hela nafas panjangnya. Ia kembali mencoba menata hati untuk mulai menceritakan kejadian yang telah ia alami. Dan satu per satu peristiwa ia ceritakan dengan sangat detail sehingga membuatnya menjadi lebih lega dan tegar,

Ibu muda itu hanya mengangguk mendengar cerita yang Nino sampaikan. Sesekali tangannya yang halus ia usapkan ke wajah Nino yang mulai terlihat pucat.

Seakan mengerti dengan cerita dan masalah yang Nino alami. Ia segera mengeluarkan uang dari dompet kecilnya. Dan sebuah kata pelega telah menyiramkan air mata yang telah lama mengalir di hati Nino.

“Ayo Nak sekarang kita bawa ibumu ke rumah sakit. Semua biaya akan aku tanggung.”, seru Ibu muda itu.

Kamis, 16 Desember 2010

Talkless

Senin, 13 Desember 2010

«Masihkah Tersisakah Urat Malu Kita pada Allah….?»



Tak sedikit orang MALU pidato di depan umum…
Jutaan orang MALU tuk mengaku salah…
Ribuan orang MALU menjadi orang miskin…
Tapi…
Hanya sedikit orang yang punya rasa MALU pada Sang Pencipta…

Coba kita renungkan sepenggal bait di atas. Maka kita bisa memahami bahwa sebagai seorang manusia sudah sewajarnya jika kita memiliki rasa malu. Adanya pikiran, hati, dan jiwa yang Allah berikan membuat rasa malu menjadi sebuah hasrat yang sudah sepantasnya dimiliki oleh seseorang. Namun, ketika kita mau menilik lebih dalam lagi, maka dapat kita mengerti adanya nilai positif dan negatif dari adanya sikap ini.
Sebagai contoh, seseorang murid yang mukanya memerah karena ia ketahuan mencontek saat ulangan harian, atau seorang karyawan perusahaan yang merasa canggung dan malu ketika menyampaikan idenya di depan pimpinan dan karyawan lain. Dan contoh yang lebih ekstrim lagi adalah ketika seorang pencuri tertangkap basah saat melakukan aksinya.
Contoh-contoh tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari di sekeliling kita. Tak jarang justru kita sendiri tanpa sadar juga telah ikut serta terjebak dengan perasaan malu ini. Dan, pada akhirnya akan muncul tembok-tembok pemisah nilai-nilai keberanian kita.
Pada dasarnya perasaan malu erat kaitannya dengan hubungannya di depan umum. Seseorang merasa panik dan terganggu ketika perbuatan atau omongannya diketahui oleh orang lain. Parasaan ini biasanya acap kali muncul karena pengaruh dari dalam dirinya sendiri. Seseorang akan merasa malu ketika ada orang lain yang mengamati dan melihat tingkah lakunya. Dan alhasil akan menyebabkan sikap yang biasa disebut “salah tingkah”.

 Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali-‘Imran ; 29).

Jika kita menilik dari ayat Al-quran tersebut, dapat kita pahami bahwa sebagai Sang Pencipta, Allah memiliki kuasa untuk mengetahui segala sesuatu di alam raya ini. Dan jika kita mau merenungkan kembali, dapat kita ketahui bahwa setiap tingkah dan prilaku yang kita lakukan setiap hari selalu diamati dan disaksikan sepenuhnya oleh Allah SWT.
Kika kita mau merenungkan lebih jauh lagi, maka akan timbul rasa MALU  ketika tingkah laku kita tidak sesuai dengan yang Allah harapkan. Dan pada akhirnya setiap langkah dan sikap yang kita ambil akan selalu berada di jalan cinta-Nya.




Selasa, 07 Desember 2010

met tahun baru 1432 H

Minggu, 05 Desember 2010

Islam Bukan Teroris



Meskipun
Kau cerca aku dengan jutaan fitnah mediamu
Tapi aku tak kan gentar untuk melangkah maju
Walaupun…
Kau koyak tubuhku dengan ribuan selongsong peluru
Tapi aku tak kan lari memalingkan semangatku
Biarlah…
Kau hempas badan ini dengan ratusan cambukan
Tapi aku tak kan ragu tuk menyuarakan kebenaran

Karna…
Ingin kubuktikan pada dunia, bahwa…
Islam itu cinta damai
Islam itu berprestasi
Islam itu satu
Dan dengan lantang akan kuteriakkan…
“I’m a Moslem and I’m not a terrorist”

aa.mawardhi_10

Kamis, 02 Desember 2010

Andalusia edisi Bencana