Selasa, 15 Maret 2011

Rindu Seruan Syuro'» versi ihwan



Brotherhood of  Muslim
dedicated to spirits of  KMT’ers

Meskipun
Kau cerca aku dengan jutaan fitnah mediamu
Tapi aku tak kan gentar untuk melangkah maju
Walaupun…
Kau koyak tubuhku dengan ribuan selongsong peluru
Tapi aku tak kan lari memalingkan semangatku
Biarlah…
Kau hempas badan ini dengan ratusan cambukan
Tapi aku tak kan ragu tuk menyuarakan kebenaran

Karna…
Ingin kubuktikan pada dunia, bahwa…
Islam itu cinta damai
Islam itu berprestasi
Islam itu satu
Dan dengan lantang akan kuteriakkan…
“I’m a Muslim and I’m not a terrorist”


            Pagi itu alarm jam berdering kencang membangunkan rajutan mimpiku yang semalaman melayang jauh dari tempat tidurku. Mengalun keras mengisi seluruh penjuru ruangan serasa ikut bergetar dibuatnya. Dan segera ku kembalikan sejenak posisi punggungku untuk duduk tegak. Bersandar pada sisi kasur yang terasa empuk di balik badanku.
            Tulang – belulangku terasa sangat sakit karena rasa capek dan lelah yang mendera di sekujur tubuhku. Membuat rasa ngilu di setiap persendian yang ku rasakan di punggungku.  Aktivitas padat akhir – akhir ini membuat waktuku seakan mengalir dengan begitu cepat. Namun, seakan semangat yang muncul di pagi itu telah terbit bersama sang mentari yang siap menyapa indahnya alam raya.
            Setelah sholat subuh ku buka lemari baju berbahan kayu mahoni itu. Ku buka lemarinya yang berhias ukiran japara. Jemariku meraba satu per satu sisi lipatan baju yang tertata rapi di tiap raknya. Dan segera kutemukan sebuah buku agenda tebal berwarna coklat kehitaman dari balik selembar baju berwarna koko putih. Baju koko yang sedari tadi malam  telah kupersiapkan menghantarkan laju semangatku di pagi ini.
            Ku buka lembar demi lembar catatan kegiatan yang ku tulis teratur berderet ke bawah. Ku pandangi secara berurutan dan mataku tetegun melihat satu jadwal yang ku tulis di satu lembar tersendiri. Tulisannya yang tebal membuat kalimatnya yang tegas akan dengan mudah ku baca dan ku perhatikan setiap katanya.
            “Hmmm… Ya ya… Talk show n bedah buku”, batinku dalam hati.
            Segera ku kembalikan buku tebal itu di atas tumpukan bajuku. Namun, sejenak pikiraku tertuju pada satu jaket yang menggelantung di sisi lemari sebelahnya. Jaket berwarna biru tua dengan garis putih di sisi tengahnya. Ku raba dan kupandangi dengan seksama, nampak jelas tulisan di sisi dadaya “Keluarga Muslim Teknik”.
***
Pikiranku melayang padha satu periode waktu lampau. Seakan detik jam mulai terasa mengikuti alur ceritaku untuk mau menjelajahi sang ruang waktu. Mengembalikan ingatan akan peristiwa yang ku alamai bersama jaket kenangan berwarna biru tua itu.
Dua tahu yang lalu, di masjid kampus UGM masih teringat saat ku desakan badanku di antara puluhan penggemar Habiburahman El Shirazy yang dengan setia menunggu kedatangan penulis besar itu. Aku bak seekor lebah yang mulai menuju sarang madunya. Berharap akan mendapatkan sebuah kenikmatan madu. Dan madu itu laksana sebuah ilmu yang akan terus mengalir dalam pikiran dan jiwaku.
Mataku terperanjat ketika melihat Kang Ebik muncul di depan dan naik ke atas mimbar pembicara . Dengan wajah tenangnya, ia membuka salam di malam itu.
Assalamu’alaikum wr wb…
Para penonton yang hadir sejenak terdiam. Dan seketika dengan kompak mereka menjawab bersamaan. Suaraya lantang memekakan langit malam kota Yogyakarta.
Waalaikumsalam wr wb….
Hatiku seakan tak percaya melihat kedatangan sang novelis terkenal itu di depan mataku secara langsung. Jantungku berdebar kencang membuat aliran darah yang mengalir di sekujur tubuhku terasa semakin bertambah kencang.
Malam itu banyak pelajaran yang dapat ku peroleh, Kang Ebik telah mampu membawakan suasana malam itu menjadi lebih khidmat dan tenang. Puluhan penonton seakan serasa di sihir oleh kata – kata penyemangat yang ia hadirkan. Beliau menghadirkan satu semangat baru dalam perjuanganku ini. Seakan cerita dan tutur kata yang beliau hadirkan telah menyihir hampir seluruh penonton yang ada.
“Menulis memang persoalan yang gampang, tetapi menulis tulisan yang baik dan mampu menginspirasi banyak orang itu yang tak gampang. Setidaknya satu inspirasi menilis adalah membaca. Bagaimana kita bisa jadi penulis hebat jika kita tak mau membaca karya – karya hebat penulis.” , batinku dalam hati.
Malam itu Kang Ebik telah sedikit mengubah ideologi pemikiranku. Setidaknya dengan mengubah cara pemikiranku telah mampu menghadirkan satu kesempatan yang luar biasa untuk mampu mengubah dunia.
***
Bagiku menulis adalah satu kehidupan lain dari beberapa kesenangan yang ku lakukan. Dari menulis, ku mampu memberikan satu ruh terendiri dalam menyikapi sebuah realita hisup yang semakin terasa penat ini. Kudapatkan sebuah rasa kegembiraan ketika ku mampu mengungkapkan sebuah ide pemikiran menjadi sebuah goresan kata. Hingga akhirnya kata demi kata itu muncul menjadi sebuah kalimat tersusun dalam paragraf yang padu.
Masih terbayang erat di pikiranku ketika ku larikan tubuhku mengejar bis yang akan membawa rombongan anak KMT mengunjungi sebuah tempat produksi surat kabar harian di Jogjakarta. Ku peroleh banyak pengalaman ketika berdiskusi dengan para jurnalis dan melihat secara langsung produksi pembuatan surat kabar itu. Dari sinilah mulai muncul semangat untuk membuat tulisan menjadi sebuah media yang menakjubkan.
“Aku ingin mengubah dunia dengan media. Liat saja kenyataan yang sekarang terjadi. Seakan media menjadi sebuah sarana praktis untuk membuat sebuah isu dalam masyarakat. Hanya dalam waktu sekilas orang bisa menjadi lebih paham ketika menyaksikan dan membaca bahan dalam media.”
“Mulai dari tukang parker hingga presiden pun bisa masuk dalam berita di media. Naah… jika kita mampu membuat media dengan lebih positif, maka akan mampu kita mengubah dunia menjadi lebih positif”
Suara – suara itu terdengar lantang dalam sanubariku. Seakan timbul semangat dalam lilinku yang meredup dan mulai bersinar terang. Hingga cahayanya kan kembali mampu menerangi ruangan sekitarnya.
***
Jaket berwarna biru tua itu telah mengantarkan semangatku untuk terus maju.  Seakan ketika ku pandangi jaket biru itu kan ku bayangkan satu per satu wajah sahabat yang selalu menyertai langkah takdirku. Sahabat yang hadir dalam satu kesatuan warna untuk menunjukan kebersamaan dalam Islam. Sahabat – sahabat yang hadir menemani langkahku ketika tertaih dan terus menopang semangatku.
Hingga akhirnya langkahku pun menuju dari satu per satu tempat produksi yang mau menerima karyaku. Seakan aku hanya bisa berharap jika goresan penaku kan mampu menginspirasi banyak orang. Namun, dari satu kesatuan tempat produksi yang ku jelajahi, semua meberikan jawaban yang sama.
“Maaf mas… Mungkin belum untuk saat ini.”
Jawaban itu sesaat membuat semangatku kembali patah. Tak banyak yang bisa kulakukan sesaat itu. Seakan aku laksana sang pejuang yang belum juga menemukan titik kemenangannya.
Ku rogoh dompet yang terletak di saku belakangku. Ku buka reselting yang menguncinya rapat. Terasa tebal penuh bukan dengan uang melainkan dengan kertas – kertas kwitansi. Ku buka dengan lebih – lebar isi yang ada di dalamnya, dan nampak olehku selembar uang sepuluh ribuan. Ku coba mencari – cari di selanya. Tapi tak ku temukan juga. Dan hanya menyisakan uang sepuluh ribuan tunggal sebagai bekal perjalananku.
Memang sejak lulus kuliah, ku coba langkahku untuk bisa mandiri tanpa bebn orang tua. Ku perjalankan tubuhku ini untuk mencari sesuap rejeki di tengah -  tengah kegundahan hati dan semangatku yang mulai sirna terhembus oleh sang angin. Hingga perjalananku sampai juga di ibu kota nan panas ini.
 Kujejakkan ke sebuah masjid kecil di pinggir jalan raya. Badanku yang terasa sangat letih membuat punggungku terasa kaku. Masih di tambah dengan kaki yang terasa mengeras karena telapaknya terlalu lama untuk melangkahkan jejakku di tanah Allah ini.
Kurebahkan sejenak punggungku ini di serambi masjid. Terasa sangat nikmat dan syukur ketika sumilir angin menambah hawa sejuknya menjadi lebih terpadu dengan rasa letihku. Seakan aku laksana seorang musafir yang menemukan mata air kesejukannya.
 “Alhamdulillah Ya Rabb… Kau masih berikan kesempatan hamba untuk bisa berucap syukur hari ini.”, lirihku dalam hati.
Tak lama kemudian ku ambil air wudhu. Kubiarkan sejenak menyentuh kulitku yang terasa semakin mencoklat kepanasan. Seiring dengan kumadhan adzan maghrib yang melengking merdu membahana dalam langit kota Jakarta ini. Bak sebuah oase di tengah gurun yang panas.
***
“Ya Allah… Aku tahu Engkau Maha Cinta… Engkau Maha Pengasih…
“Apakah kau tega biarkan hamba menangis sendirian di tengah – tengah asingnya kota metropolitan ini. Jika kau berikan hamba kesempatan untuk bisa berjuang di jalan-Mu. Ijinkanlah hamba untuk bisa membalas kebaikan orang – orang di sekeliling hamba dengan senyum kesukesan. Namun, jika kau masih menunda kesempatan itu, jangan biarkan hamba jauh dari cinta-Mu. Jika ini bisa mendekatkan diriku dengan cinta-Mu. Ku coba untuk ikhlas menerimanya Ya Allah”
“Ya Allah berkahilah niat baik hamba Ya Allah… Amin Ya Rabbal alamin…”
Kata – kata ini mengalun lirih dari bibir keringku. Terasa kering karena tak terbasahi oleh air yang mengucur ke dalam tenggorokanku. Justru perlahan air mata ini yang mulai mengucur tak terbendung dari kelopak  mataku. Mengalir menyisiri kedua pipiku dan jatuh menetes ke bawah.
Seiring dengan itu, hujan deras tiba – tiba ikutan mengucur dari balik awan. Seakan langit tampak setia menemaniku untuk ikut mengucurkan air langitnya. Jatuh beraturan membasahi bumi Allah menebarkan keberkahannya.
***
“Maaf Pak, Saya ijin berteduh dan nunggu hujan reda di sini ya?”, pintaku mengiba kepada seorang yang kulihat penduduk sekitar masjid itu.
“Silakan… silakan…”, jawabnya pelan.
Bapak berjenggot tebal itu seketika menata nafasnya. Ia bersiap menggulirkan kalimat susulannya.
“Bahkan jika Mas mau nginep disini. Silakan aja. Lagipula kan hujan di luar begitu deras. Silakan saja jika Mas mau nginep disini.”, tambahnya sopan.
Pikiranku sesaat terbayang pada uang selembar sepuluh ribuan yang tersisa di dompetku. Dan tanpa pikir panjang kuterima tawaran bapak itu.
“Iya… iya pak terima kasih”, jawabku.
“Mas kerja dimana?”
“InsyaAllah lagi mencari pekerjaan, Pak”
“Hmmm… ya ya… Mudah – mudahan Allah mengabulkan doa Mas ya. Kulihat tadi khusyuk sekali ketika berdoa.”
“Amin… Amin…”
“Ya sudah tak tinggal dulu. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam wr wb…”
Pak berjenggot tebal itu segera bergegas meninggalkanku sendirian terduduk di dalam masjid. Terasa sepi dan dingin menggerayangiku. Kuhabiskan malam itu dengan dua butir roti kering yang masih tersisa di tas gendongku. Menghantarkanku dalam tidur yang tak begitu nyenyak.
***
Minggu pagi kembali ku langkah kaki tuk menawarkan tulisan di salah satu tempat produksi ternama di kota Jakarta. Panasnya terik mentari dan macetnya suasana kota membuat cucuran keringatku membasahi baju hitamku. Rasa haus dan dahaga yang menyeruak di tenggorokan terasa semakin membuat kepenatan otakku bertambah dua kali lipat. Hingga akhirnya ku lepaskan jaket biru tua itu agar tak semakin menambah parahnya rasa terik mentari ini.
Ku masuki sebuah tempat produksi terkemuka di kota Jakarta itu. Dengan detak jantung berdebar kencang ku beranikan langkahku memasuki dan menemui pemilik tempat produksi. Sebuah jawaban menggetarkan penantianku ketika kuperoleh jawaban yang sama dari sebelumnya.
“Maaf Mas… untuk saat ini belum bisa…”
Airmataku terasa terhenti tak mau mengalir. Namun, hatiku terasa perih untuk mau menerima kenyataan itu. Namun, itulah peristiwa yang telah kuhadapi di depanku.
Seluruh peserta talk show tampak tertegun mendengar ceritaku. Seakan mereka ikut terbawa suasana akan cerita yang kualirkan. Di depan ratusan peserta itu kucoba beberapa kali tuk bisa tersenyum mengingat peristiwa pahitku. Aku bagaikan satu pusat pemandangan yang menjadi perhatian ratusan mata.
“Ya itulah sepenggal kisah yang baru saja kita dengar dari Zulham Airlangga. Dan setidaknya kita ketahui sekarang bahwa pengorbanan yang telah beliau lakukan di masa lalu telah menghasilkan sebuah hikmah terdalam dari Sang Kuasa.”, ucap sang moderator menyela.
Aku hanya bisa mengangguk terseyum mendengar kata – kata moderator.
“Ya, setidaknya saya mencoba untuk tetap bisa bersabar dan ikhlas dalam jalan cinta-Nya. Dan Allah mengabulkan doa – doa saya.”, jawabku singkat.
Aku kembali terhenti sejenak. Mengatur nafas tuk mengeluarkan kata – kata lanjutannya.
“Untuk buku ketiga yang saya launching hari ini. Saya dedikasikan buku ini untuk semangat sahabat, isteri, dan anak saya. Mereka telah memberikan sebuah semangat baru untuk langkahku kembali mengalir hingga menjadi sukses seperti saat ini, terutama untuk isteri saya.”, tambahku.
“Ya… dan dengan ini maka novel ketiga karya penulis kita Zulham Airlangga yang berjudul Rindu Seruan Syuro’ telah dilaunching. Semoga bermanfaat untuk diri kita semua. Selamat berkarya kembali Mas Zul.”, tambah sang moderator.
Kalimat itu diiringi dengan tepuk tangan riuh para peserta talk show. Membuat hatiku sedikit bergetar ketika ku saksikan satu pandangan dari bangku penonton yang nampak tersenyum indah dari balik balutan jilbabnya. Senyum yang kembali menegarkan semangatku selama ini bahwa semua penantian yang telah ku tunggu telah menemukan jawabannya. Senyum ikhlas yang kudapati dari balik bibir seorang perempuan tangguh yang kini menjelma menjadi isteri tercintaku. Satu cinta yang Allah hadirkan menemani jalan cinta-Nya.
“Alhamdulillah Ya Rabb…”, batinku dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar