Jumat, 11 Maret 2011

« Secarik Surat untuk Pak BeYe »

Didedikasikan untuk TKI dan TKW Indonesia



Namaku Sumarni, aku hanyalah seorang wanita yang tetap mencoba tangguh hidup di negeri orang. Bukan untuk merefresh pikiran dan hati yang lelah karena kesibukan, melainkan untuk mencari sesuap nasi dari secerca anugerah yang Allah hadirkan di bumi cinta-Nya.
Lima tahun sudah aku menjejakkan hidup di tanah seberang ini. Jauh dari keluarga dan sanak kerabat yang aku kenal. Ribuan mimpi dan harapan mengantarkanku berani menyebarangi lautan dan samudera. Namun, bukannya duit melimpah yang aku dapatkan. Sepeser uang saja terasa sulit mengalir ke kantong rejekiku. Mungkin Allah sedang mengingatkanku untuk tetap sabar dan ikhlas menerima jalan hidup-Nya.
Aku mungkin bukan satu – satunya pekerja yang mencari secerca rejeki di tanah orang. Ratusan bahkan ribuan penduduk Indonesia pindah ke negeri orang. Bukan sebagai seorang yang ingin menghabisakan harta melimpahnya, melainkan untuk menyambung nafas keluarga yang mulai terjerat perekonomian di tanah kelahirannya. Hidup sebagai seorang Tenaga Kerja Wanita Indonesia.
Masih teringat kenangan terakhirku dengan suami dan dua anak kembarku. Semuanya terekam jelas dalam memori otakku yang mulai tercuci ringan. Tersapu oleh jutaan peristiwa yang membersamaiku di Tanah Arab ini.
Dan kata terakhir yang masih jelas kuingat adalah…
“Emak… Aku sayang emak…”
Kata itu tiba- tiba menyeruak dari bibir mungil anak kembarku. Mengalun pelan masuk lewat daun telingaku, tembus melalui gendang telinga, dan menjalar terekam erat di otakku menjadi sebuah memori yang terekam erat.
Tanpa sadar semua hanya kan menjadi sebuah cerita yang akan selalu ku impikan untuk ku ulang kembali. Namun semua hanyalah terasa bagaikan pemanis setelah kualami peristiwa menyakitkan ini. Peristiwa yang membuat rasa rindu akan tanah airku semakin memuncak hingga tanpa sadar membuat air mataku yang tertahan jatuh membasahi kedua belah pipiku.
***
Dua tahun sudah kuhabiskan hidup di penjara sebagai seorang yang di tuduh sebagai seorang  “tersangka”. Entah tak habis pikir tentang hukum dunia yang ku alami. Mungkin aku mulai merasa muak melihat semua kepahitan ini. Hukum yang serasa dipermainkan oleh duit dan ribuan ketidakadilan lainnya. Seakan terasa yang kuat makin berkuasa dan yang lemah makin tertindas.
Aku hanya bisa diam terbelunggu bercampur dengan para pencopet, penjudi, maling kecil dan penjahat kelas teri lainnya. Sedangkan para koruptor, pencuci uang, pembobol uang rakyat, lebih eksekutif beristirahat sejenak di sel tahanan. Jika mereka mau pun mereka bisa titip absen untuk sekedar memenuhi agenda rutin tahanan. Dan lebih payahnya lagi mereka dapat memilih tempat refresing karena kepenatan udara di lapas. Sungguh pilunya keadailan di dunia yang kualami.
Hari demi hari kuhabiskan sebagai seorang dengan status NARAPIDANA PALSU. Semua terjadi setelah peristiwa memilukan yang telah mengubah kehidupanku. Ketika dunia tak sependapat denga kebenaranku. Dan aku harus mengakui satu perbuatan yang tak pernah kulakukan ini.
Majikanku telah menuduhku mencuri, dan malangnya lagi aku sempat akan menjadi korban pemerkosaan biadab para syetan berambut itu. Dan karena takut ketahuan mereka telah menuduhku melakukan pencurian di rumah mereka. Seakan dunia hitam berpihak di sisi mereka. Sehingga sepertinya mereka mampu membuat sidang pengadilan menjadi sebuah sandiwara yang telah mereka setting dengan cukup rapi. Alhasil, kini dirikulah yang harus mendekam di balik bui gelap ini. Sedangkan mereka yang bersalah, mungkin tertawa lepas untuk merayakan kemenangan mereka seraya mencari korban lainnya.
“Bagiku mungkin ini lebih baik dibandingkan harus melayani nafsu bejat meraka. Mendingan aku terkurung di dalam bui daripada harus mengorbankan kehormatanku”, batinku dalm hati.
***
Kupandangi langit – langit penjara yang penuh dengan sarang laba – laba. Tampak kotor dengan berbagai macam kotoran serangga hingga tak kelihatan lagi warna putihnya. Hanya meninggalkan satu bayangan yang nampak jelas seketika ku lihat ada bekas air hujan yang mulai bocor mrembes hingga membasahi eternit.
Ku bangunkan tubuhku yang semula terebahkan di lantai bui ini. Ku tegakkan sejenak mendekat ke arah meja tulis. Ku ambil secarik kertas tulis dan pulpen. Ku pikirkan sejenak apa yang ingin ku tulis. Ku pandangi kembali langit - langit kamar untuk sejenak mengembarakan pikiranku menuju tanah air. Dan seketika itu ku gerakkan tanganku menggoreskan pena di selembar kertas putih itu.

Kepada Yth. Bapak Presiden SBY
di istana

Dengan hormat,
Pak Presiden yang saya hormati. Saya tahu Bapak orang paling sibuk di Indonesia. Bapak orang nomor satu di Indonesia. Dan Bapak adalah tokoh yang menjadi perwakilan seluruh warga Negara Indonesia.
Jika dibandingkan Bapak, mungkin saya hanyalah setitik air limbah yang tak berguna. Jangankan tersiksa, sampai meninggalpun tak banyak orang yang menangisi jasadku. Tapi selama ini, saya juga termasuk warga Negara Bapak yang mencoba untuk patuh hukum.
Saya adalah satu dari ratusan orang yang berkelana di negeri orang. Bukan untuk menghambur – hamburkan duit seperti para koruptor, melainkan hanya untuk mencari sesuap rejeki. Bagi kami bekerja halal di negeri orang lebih baik daripada mengemis di negeri sendiri. Setidaknya kami masih punya tenaga untuk memperoleh hidup. Kami masih punya rasa malu untuk meminta belas kasih iba orang lain. Terlebih lagi kami masih punya iman untuk sekedar tak berbuat jahat hanya tuk sekedar uang makan.
Bapak bilang kami adalah pahlawan devisa negara. Namun, apakah seorang pahlawan pantas tuk didiamkan oleh Negara. Apakah seorang yang dianggap pahlawan harus menderita selamanya tanpa ada secerca asa tuk bisa kembali tersenyum.
Kali ini saya merasakan ketidakadilan di negeri orang. Fitnah dan kedzoliman yang saya alami di negeri orang ini membuat rasa berani saya untuk memelas kepada Bapak. Jika Bapak masih berkenan memberikan saya sedikit belas kasihan, setidaknya saya hanya ingin kembali berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman. Kembali bertemu dengan keluarga tempat saya bernaung secara aman. Saya rindu kecerian hati mereka untuk bisa tersenyum.
Saya yakin Bapak orang super sibuk, tapi tidakkah Bapak iba melihat penderitaan sebangsanya terdzolimi di negeri orang. Bukankah Bapak orang berpendidikan tinggi, sanggupkah bapak membiarkan warga negaranya merana di negeri tetangga.
Saya mohon belas kasihan Pak Presiden.


                                                                                                           Hormat Saya
                                               
                                                                                                               Sumarni

Sumarni menghentikan goresan penanya. Ia mengalirkan air mata derasnya yang bercucuran melewati kedua kerut pipinya. Seketika itu ia masukan surat itu ke dalam amplop putih. Ia tuliskan besar besar di samping kanan tengah amplop itu.
Kepada Pak Presiden SBY
Di istana Negara

“Inilah sepenggal kisah kerinduan seorang Warga Negara Indonesia akan seorang pemimpin yang dapat merakyat. Seorang pemimpin yang tidak hanya memperhatikan nasib pemerintahan semata, namun juga mau memperhatikan nasib warga negaranya di negeri orang.”
            “Setidaknya para TKI dan TKW juga Warga Negara Indonesia juga, hanya nasib sajalah yang kurang bersahabat dengan diri mereka. Mereka harus mau bekerja keras di negeri orang hanya untuk mencari sesuap rejeki. Namun, setidaknya mereka juga manusia yang memiliki mimpi dan cita untuk menggapai kesuksesan masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar