Sabtu, 30 Oktober 2010

«Doa untuk Ibu» Track two Kado spesial Emak dan Nino

Sore itu tak sepeser uang pun kudapati mendarat di tanganku. Walaupun pasar tampak berkerumunan penjual berlalu lalang. Namun, rejeki itu belum juga mengalir pada diriku. Aku masih tampak lunglai memperhatikan kesibukan orang yang asyik berniaga. Dan diantara ribuan pemandangan yang tampak dihadapanku. Aku hanya menjadi seorang penonton setia menikmati kesibukan ini.
Tampaknya orang-orang tak lagi membutuhkan jasa angkutku. Mereka lebih suka menyuruh pemuda-pemuda yang kuat dan perkasa untuk mengangkut bahan belanjaannya. Maklumlah usiaku yang mulai keriput membuat tenaga dan semangatku mulai memudar.
Hatiku hanya bisa mengaduh pasrah. Masih terbayang kedua anakku yang tampak setia menunggu kepulanganku. Mereka pasti berharap akan makan enak malam ini. Namun, kenyataan berkehendak lain. Bisa jadi malam ini tak ada sepiring nasi yang biasa kami hidangkan untuk mengganjal perut. Berlaukkan garam halus dan sambal terasi yang terhidang untukku dan kedua anakku. Mengantarkan kami untuk sekedar bisa tidur nyenyak malam.
Kulangkahkan kakiku lemah menyusuri jalan-jalan di pasar itu. Bau amis ikan, dan bau busuk sampah tampak menyatu menggerogoti hatiku. Kucoba untuk tetap melangkah tajam menyisakan semangat untuk tetap rindu bertemu kedua anakku.
“Ya Allah tidakkah ada rezeki halal untuk hamba-Mu hari ini… Ya Allah…”, pintaku dalam hati.
Dan tanpa sadar air mata tiba-tiba berlinang jatuh menyusuri keriput pipiku. Aku mencoba tetap tegar menerima kenyataan yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Melangkahkan kaki dengan mantab menapaki jalan perkampungan itu.
Ragaku mulai lelah, bukan karena jasa angkut yang kujual telah laku semua. Namun terik mentari yang sedari pagi mencampakkan tubuhku. Namun aku hanya mampu untuk tetap terdiam di pojok pasar tanpa bisa melakukan satu hal sekecil pun. Hari ini terasa menjadi hari tersulit yang pernah kualami.
+++
“Mak.. mak…, hari ini Nino ulang tahun, Mak”, teriak anak bungsuku kegirangan.
Ucapan itulah yang membuat jiwaku terasa lebih remuk saat ini. Masih kuingat jelas pagi tadi, anak bungsuku itu tampak asyik membayangkan imajinasinya. Bayangan untuk bisa menikmati hal spesial dihari spesialnya. Namun, kini tak sepeser duitpun tersisa untuk sekedar memberikan hadiah kecil untuk Nino. Walau hanya sekedar makan sebungkus nasi telor.
Di sepanjang perjalanan pulangku, aku hanya bisa membayangkan betapa hancurnya hati Nino ketika mendapati ibunya datang tanpa memberikan apapun. Dia pasti akan kecewa dan hanya bisa memendam rasa tangisnya.
“Namun, tetap kuberanikan langkahku untuk menemui meraka. Karena bagaimanapun, mereka adalah anak-anakku.”, batinku dalam hati.
+++
Rumahku tampak sepi melompong. Sore itu terasa semakin sunyi ditambah dengan kondisi rumahku yang semakin memburuk. Tak terlihat kedua anakku yang biasa riang bermainan di sepanjang jalan perkampungan ini. Seakan mereka telah siap menyambutku di dalam rumah.
Ku beranikan diri untuk membuka pintu yang memang tak tertutup rapat yang mulai lapuk termakan usia.
“Assalamu’alaikum….”, sapaku dengan tenang.
“Nino… Adin…”, lanjutku.
Tak satupun dari mereka yang bergegas menghampiriku. Tak seperti biasanya mereka tampak diam tak menyambut kedatanganku. Hatiku semakin terasa kecut dibuatnya.
“Mungkin mereka marah karena tahu bila ibunya pulang tanpa membawa secarik kado hadiah diulang tahun Nino.”, batinku dalam hati.
Segera kulangkahkan kakiku untuk menuju ruang lain yang hanya terpisahkan oleh secarik kain kelabu yang mulai sobek-sobek.
“Nino… Adin… Dimana kalian..?”,seruku lebih keras.
Dan tanpa diduga ketemukan kedua anankku ini di sudut ruang. Mereka tampak duduk saling berhadapan. Di depan mereka tampak kulihat nasi kuning yang terbentuk kerucut menjulang dengan berbegai jenis makanan yang terhidang. Tak lupa juga tiga gelas air putih tampak tersusun rapi disampingnya. Hal yang membuatku semakin tak percaya.
“Subhanallah, dari mana kalian mendapatkan makanan sabanyak ini… ?”, seruku menghardik mereka.
“Kalian mencuri ya…”, lanjutku.
Kedua anakku masih terdiam tak menjawab. Wajah mereka yang semula hinggar bingar tampak berubah menjadi semakin kecut. Dan segera kupeluk kedua anakku ini.


“Sudah kubilang pada kalian berdua kan. Kita memang tak punya banyak harta melimpah. Tapi jangan sampai kefakiran kita ini membuat kita kufur pada Allah. Ingat kan Nak…”, lanjutku sembari memeluk meraka.
Kedua anakku tampak menangis dipelukan. Pemandangan yang tampak membuat hatiku semakin remuk redam.
“Iya.. Mak… Adin, Nino tahu hal itu. Kan Emak juga sering menasehati kami..”,jawab Adin sambil terisak tangis.
“Tapi, semua hasil makanan ini insyallah adalah uang halal. Kami memang sengaja mengumpulkan uang ngamen untuk sekedar mensyukuri usia yang telah Allah berikan pada Nino dan Emak.”, lanjut Nino.
“Iya… Mak… Bukankah hari ini Emak juga ulang tahun.”, seru Adin girang.
Kudekap semakin erat kedua anakku ini. Semua terasa semakin mengharu ketika kudengar ucapan bijak yang telah anak-anakku ucapkan ditelingaku. Semakin membasahi diri dengan haru air mata bahagiaku.

0 komentar:

Posting Komentar